Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menyapa Para Malaikat yang Diutus

6 Juli 2021   19:54 Diperbarui: 6 Juli 2021   20:22 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto oleh: @pieu_kamprettu

Dalam situasi yang serba terbatas dengan agenda Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat, baik dari sektor sosial, agama, ekonomi, hingga olahraga, yang mana mayoritas dari kegiatan tersebut pasti identik dengan bertemunya orang-orang untuk sementara dilarang karena mengandung unsur kerumunan/berkumpulnya banyak orang.

Namun, hal tersebut sangat kontras dan menarik jika mendengar kalimat "alam naj'alil 'ardho kifatan" atau bukankah Kami jadikan bumi untuk (tempat) berkumpul (77:25). Tentu saja hal ini bisa memantik banyak perdebatan apabila banyak ego akan kebenaran yang masih berhamburan. Hanya saja, yang akan disampaikan adalah poin berkumpulnya orang-orang.

Manusia itu makhluk sosial yang sudah sewajarnya memiliki naluri alami untuk menuju suatu kerumunan yang sesuai dengan selera pribadi masing-masing. Tapi, apa daya jika hal-hal itu dibatasi? Padahal dari banyak perkumpulan, salah satu manfaat yang didapatkan adalah adanya pola keterbimbingan atau menjadi sebab turunnya salah satu hidayah. Tapi, mengapa kita diberi tempat bumi yang notabene menjadi tempat untuk berkumpul pun sekarang dianggap meresahkan?

Kemarin ketika situasi sudah mulai pulih dan berangsur normal, kembali kita diterpa oleh badai informasi yang masif tentang pandemi. Kini seolah kita diajak untuk bermain serial Corona 2 dengan judul PPKM. Tidak menutup kemungkinan serial ini masih akan terus berlanjut hingga serial ke 10 lebih, seperti tidak mau kalah dengan drama sinetron yang tidak asing bagi orang '90-an, yakni Tersanjung. Ya, diteliti sendiri saja mana bagian pengenalan, klimaks dan anti klimaksnya. Kita mengetahui sutradaranya, namun kita juga jangan lupa akan adanya Maha Sutradara.

Sang Maha Sutradara masih di surat yang sama pun berfirman, "fain kana lakum kaydun fakiydun (Maka jika kamu punya tipu daya, maka lakukanlah (tipu daya) itu terhadap-Ku (77:39)". Apabila kita masih bersikeras dan sombong, serta diam-diam menyekutukan-Nya, meskipun telah diberikan banyak peringatan yang diberikan. Siap-siaplah mendapati, "waylun yawma idzin lil-mukadzdzibin (celakalah pada hari itu, bagi mereka yang mendustakan (kebenaran))."

Bahkan dalam surat Al-Mursalat tersebut, peringatan akan kemungkinan datangnya sebuah kecelakaan diualng hingga sepuluh kali. Oleh karena itu, kita janganlah terlalu angkuh seolah telah memegang kebenaran. Sementara hidup kita sebagian besar dikepung oleh ketidaktahuan atau sesuatu yang masih bersifat ghaib. Ilmu dan pengetahuan yang diberikan sedikit digunakan tidak semestinya atau untuk kemashlahatan, kecuali hanya demi keuntungan diri.

Jadi, silahkanlah meneruskan masing-masing yang kita yakini. Untukmu agamamu, untukku agamaku. DImensi celaka itu sangat luas, dalam keadaan seperti ini, yang berpulang bukan berarti celaka, justru ada kemungkinan diselamatkan dari kehidupan dunia yang semakin gaduh. Sebaliknya yang banyak berlimpah kekayaan, bisa menjadi salah satu bagian dari celaka yang dimaksud.

"Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa." (6:44)

***

Kalaupun dalam Majelis Selasan kami tetap mengupayakan diri untuk berkumpul, melakukan wirid Munajat dan sholawat sebagaimana kebiasaan yang telah kami lakukan. Itu bukan berarti dulur-dulur kehilangan kewaspadaan dan tidak menghormati segala aturan yang mungkin sedang diberlakukan. Justru sebaliknya, dulur-dulur justru selalu memohon perlindungan dan keselamatan bagi dirinya, keluarganya, dan lingkungan sekitarnya.

Di jilid pertama Corona tahun lalu, kita mengaktivasi mode senyap dalam melakukan kegiatan. Agar meminimalisir pantuan dan berbagai notofikasi prasangka yang bisa saja masuk. Minggu lalu, pada guliran ke-81 di kediaman Mas Entong, Dusun Pletukan, Tempuran. Dulur-dulur melakukan kegiatan sebagaimana adanya, untuk berupaya selalu menaruh harap di tempat yang tepat. Dan tentunya untuk memohon perlindungan melalui vaksin wirid dan sholawat yang dulur-dulur yakini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun