Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Khalwat Batin dalam Selasan

21 Juni 2021   16:33 Diperbarui: 21 Juni 2021   16:46 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam mulai berkabut dalam dekapan cuaca yang sedang tidak dapat dipastikan di daerah Magelang. Suasana masih terasa lengang ketika waktu sudah menunjukkan sekitar pukul 21.00  WIB (15/6) di Sanggar Soko Papat (kediaman Mas Munir), Dusun Pasuruhan, Mertoyudan. Selasan yang akan memainkan wirid dan sholawat diputaran yang ke-80 ini nampak serasa akan surut. Padahal, cuaca sangat mendukung untuk memacu kuda-kuda besi untuk mengantarkan diri menuju tempat acara ini.

Keadaan ini sekilas mengingatkan suasana Selasan di masa-masa awal pandemi, saat itu dulur-dulur sangat terbiasa melakukan putaran Selasan meski hanya dihadiri beberapa orang saja. Tentu saja hal ini menjadi sebuah kekhawatiran apabila kegiatan ini diukur secara kuantitas. Padahal, agenda utama acara Selasan ini sama sekali tidak berkaitan dengan kuantitas, melainkan seberapa dalam kita terus membangun niat diri dalam menjaga kedekatan hubungan dengan Allah, syukur mendapat bonus naungan Rahmat-Nya.

Yang penting dalam Selasan adalah menjadi sebuah penanda, bahwa akan ada kegiatan wirid dan sholawat yang dilakukan secara kebersamaan, kolektif atau berjamaah. Kalau di Maiyah kita sudah lekat dengan istilah "dengan siapa saja mau bersama", Sama halnya dengan Selasan yang menjadi ruang yang tidak diperlukan lagi tendensi atas subjek. Karena objek laku ibadah sudah menjadi fokus dan sebuah tirakat bagi diri sendiri.

Toh, dulur-dulur juga sudah terlatih untuk dapat mengambil hikmah dari setiap peristiwa. Selalu ada kebaikan yang terkandung dalam segala suasana yang dialami. Bahkan, menghindari apapun yang dalam menjerumuskan diri dalam kebesaran ataupun pujian. Dalam sebuah riwayat hadits, Kanjeng Nabi bersabda, "Kebesaran dan apa yang diburunya adalah bala. Sedangkan melarikan diri daripada kebesaran dan mengharapkan pujian orang dan apa yang dibawanya, adalah keselamatan."

Seringkali kita mendapat anjuran untuk menepi atau menyepi, namun hal itu dilakukan sesuai pemaknaan harfiahnya, yakni menyendiri secara wujud atau mengasingkan diri dari keramaian untuk mendekatkan diri kepada Allah. Namun, apakah Selasan berarti tidak memenuhi syarat untuk dikatakan sebagai khalwat? Sedangkan ketika melakukan perjalanan wirid dan sholawat, mereka memejamkan mata, membisikkan kata-kata, bahkan tak terasa peluh itu menetes, seperti sedang melakukkan pengasingan diri untuk fokus mendekatkan diri kepada-Nya.

Hatinya seolah mengasingkan dari keramaian yang mungkin tercipta dalam Selasan. Seolah-olah mengajak bermesraan, atau jangan-jangan bisa jadi sedang diajak bermesraan. Jika khalwat dhohir tidak memenuhi syarat, maka bisa jadi wirid dan sholawat ini mengajak dulur-dulur untuk merasakan dimensi, ruang, ataupun perasaan yang berbeda melalui khalwat batin yang dialaminya. Apakah mungkin? Tentu saja sangat mungkin, oleh karena itu kita pasti mengenal istilah "topo ing ngrame".

Dalam keadaan berkhalwat secara batin, seolah segala kemegahan (dunia) dan sifat-sifat (sombong, iri, dengki, tidak jujur) dalam hati itu sirna. Kalaupun ada, perasaan-perasaan negatif (kotoran hati) itu akan membuat hati terikat dengan hal-hal yang seharusnya dilepaskan.  Yang mana hal-hal seperti ini merupakan suatu kelebutan yang menyebabkan khalwat secara batin itu tidak lagi suci atau bahkan mungkin membatalkan. Dan hanya dari pengalaman diri sendiri-lah kita mampu memaknainya.

Kekhawatiran awal akan kuantitas seolah mampu diganti oleh kualitas katarsis yang dialami selama melakukan wirid dan sholawat. Bahkan ketika membuka mata, nyatanya sudah banyak kehadiran dan kemesraan yang saling memancarkan cahaya otentiknya masing-masing. Kesunyian yang terasa di awal tidak lagi terasa setelah pembacaan WIrid Munajat selesai.

Lebih dari itu, oleh-oleh dari Wonosobo dari acara Silaturrahmi Penggiat Simpul Maiyah dan Mbah Nunpun menjadi bonus tersendiri dalam #MQSelasan ke-80 malam ini. Hidangan soto ayam nan lezat  dari Mas Munir menjadi teman duduk yang pas, sembari menikmati oleh-oleh perbincangan hangat dari Wonosobo.

-

Sanggar Soko Papat, 15 Juni 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun