Kalau melihat salah satu kebiasaan rutinan #MQSelasan, bisa diidentifikasi bersama bahwa lokasi yang dipakai untuk melakukan wirid dan sholawat selalu berbeda-beda setiap minggunya. Kaki-kaki itu melangkah tak tentu arah yang hendak dituju, kecuali sebatas menuntaskan dahaga akan puja-puji syair wirid dan sholawat yang menjadi agenda utama rutinan ini.
Dulur-dulur ini rela untuk memangkas jatah waktu istirahat mereka di malam hari, demi mencari remang-remang cahaya yang tidak bisa mereka temukan saat matahari nampak riang di angkasa. Sedangkan saat fajar hendak menyongsong hari yang baru, mereka sudah sigap untuk duduk bersimpuh ataupun sujud memohon ampunan kepada Allah Swt.
Apakah dulur-dulur ini tidak mengenal rasa lelah? Tapi, bagaimana mereka bisa merasa lelah apabila menyukai segala sesuatu yang dilakukannya? Bahkan, tidak sadar akan apa yang dirasakannya. Kita tidak bisa mengupayakannya kecuali sadar akan adanya kehendak-Nya. "Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk." (28:56)Â
Semua derai aktivitas mengalir menuju kemana mereka akan tertuju. Semua gejolak tidak terjadi secara linear dari dalam diri menjadi laku, baik secara pribadi maupun kolektif. Semua berputar dari satu titik ke titik yang lain. Meneruskan cahaya yang perlu tercahayai. Meleburkan apapun yang perlu dileburkan. Â Diperjalankan hingga putaran ke-79 di Sanggar Gubuk Kebon (tempat Mas Gepeng), Dusun Dawung, Mertoyudan. Tempat yang begitu artistik yang bersembunyi di di antara temaran rimbun pepohonan yang mengelilinginya.
Ya, semua bermula dari cerminan hati yang memancar dalam kesungguhan sapaan yang terlantun ketika wirid dan sholawat berlangsung. Akan nampak ketulusan-ketulusan itu terlihat oleh hati meski mata terpejam. Semua akan mendapat balasan nikmat yang sepadan dengan niat keberangkatan mengikuti gerbong Selasan.
Lambat laun, hati-hati itu kian dipersucikan dari segala penyakit-penyakit yang hingga cahaya rahasia itu memancar dari kedalaman hatinya. Semua itu datang pada diri yang mana ketika dulur-dulur melakukannya memegang kesadaran bahwa segala hajat dan permohonan yang disampaikan adalah menuju kepada-Nya, berawal dari-Nya, dan dilakukan dengan-Nya.
Rabbi faghfirlii dzunubi, Ya Allah. Bibarkatil hadi Muhammad Ya Allah. Menjadi bagian kalimat yang selalu khidmat suasananya. Seolah datang kebutuhan akan ampunan atas kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat. Tidak ada sedikitpun kebaikan yang mampu kami sendiri lakukan , kecuali hanya karena Allah. Termasuk putaran #MQSelasan.
Selama lebih dari satu setengah jam dulur-dulur menghanyutkan diri dalam wirid dan sholawat Munajat Maiyah ini. Meskipun hujan sebelum acara sempat menyapa, namun panggilan itu tetap menghendaki kehadiran sebagian dari yang terlihat. Bahkan, hadir pula teman-teman dari Teater Fajar juga ikut membersamai kegiatan ini. Semoga kesungguhan dulur-dulur ini juga selalu terjaga oleh-Nya dan selalu menyatu-leburkan kami dalam kemesraan bersama seperti ini.
***
Sanggar Gubuk Kebon, 8 Juni 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H