Tentu saja itu bagus dan bermanfaat, apalagi untuk yang membuat kontennya. Semua memiliki kandungan kebaikannya masing-masing.Hanya saja, kekhawatiran subjektif saya terhadap fenomena ini adalah kita secara tidak langsung memanjakan, sehingga banyak generasi-generasi muda begitu pintar dengan model berpikir praktis dan pragmatis.Â
Secara verbal manusia model ini akan begitu memikat, tapi secara laku kita bisa melakukan pengamatan dan analisa sendiri, apakah selaras antara indah perkataan-perkataanya dan pola perilakunya?
Ya, itu hanya sebatas prasangka dan kekhawatiran yang secara naluri pasti tidak akan pernah bisa dihilangkan dari bagian kehidupan. Dan gambaran pola fenomena seperti ini memang mengarah pada ngendikanipun Kanjeng Nabi kalau pada akhirnya semua itu "hanya sebatas kerongkongan". Dan hal ini merupakan salah satu bagian dari tanda-tanda akhir zaman.
Kalau saya mendapatkan pilihan antara memaklumi dan memahami fenomena ini, maka saya akan lebih condong untuk memahami  segala sesuatu yang terjadi merupakan bagian keindahan.Â
Ketika saya mengambil pemakluman, seolah ada rasa tidak terima atas segala keadaan yang terjadi. Padahal, segala sesuatu yang khusunya "telah terjadi", adakah yang tidak melalui proses legalitas ijin-Nya? Lalu, kenapa kita mesti memaklumi takdiNya? Jika segala sesuatu ini baik dan indah!
Apakah dengan memaklumi, lantas kita menganggap ada yang tidak beres dengan keputusanNya? Apabila kesejatian itu dicari kita mesti lebih waspada, jangan terus merasa seolah-olah Tuhan sudah berada di pihak kita. Apalagi memaksa Tuhan untuk mengerti dan memahami hasil segala olah pemikiran kita. Lancang!
---
9 Juni 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H