Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Bukan untuk Pembenaran Diri, Apalagi Pemakluman!

9 Juni 2021   17:01 Diperbarui: 9 Juni 2021   17:09 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
unsplash/vasily-koloda

Belajar tentang kesejatian tidak bisa dijadikan sebagai suatu capaian selama hidup. Tidak ada satupun orang yang benar-benar bisa mencapainya, kecuali hanya sebatas pandangan ataupun penilaian seseorang atau sebagian saja. 

Kehebatan tak ubahnya kemewahan pakaian yang sedang dikenakan seseorang. Kesohoran ibarat wewangian parfum yang sering digunakan oleh diri.

Tidak bisa pula kita belajar banyak hal tentang kesejatian, kalau hati kecil kita pada akhirnya terdengar oleh-Nya dengan menyatakan bahwa akan menghias diri dengan ilmu-ilmu tersebut.

 Ilmu bagai mahkota bagi seseorang. Namun apabila tidak bijak dalam penggunaannya, ilmu ibarat bom yang selalu kita bawa yang siap meledak kapanpun dan dimanapun.

Apalagi jika model pembelajaran itu hanya dilakukan secara harfiah atau dengan banyak mengandalkan kata-kata. Padahal, untuk memahami kesejatian yang melingkupi apapun, kita pun mesti harus siap dengan model pembelajaran apapun. 

Tidak hanya sebatas kata-kata yang bisa diidentifikasi dengan indera penglihatan saja, akan tetapi indera yang lainnya pun perlu diajak untuk peka dan ikut mencari. Jika ember yang kita bawa semakin besar, tentu air ilmu yang dapat ditampung akan semakin banyak.

Dengan zaman yang semakin maju, banyak gambar-gambar visual dengan kata-katanya mengajarkan tentang ilmu kesejatian. Namun, itu tidak bisa diartikan secara umum atau harfiah. 

Kita tidak bisa mengambil buah itu begitu saja. Misalnya ada sebuah fatwa, "dzikir pagi dan petang seperti baju besi, semakin bertambah ketebalannya,maka pemilikinya tidak akan tertimpa bahaya."

Dari satu fatwa tersebut, kita ambil saja misal satu kata bahaya. Apa yang bisa kita maknai tentang bahaya? Apa sebab kita mendapatkan sesuatu yang bahaya?

Lalu, apa efeknya jika sesuatu itu mengandung bahaya? Adakah bahaya itu sesuatu yang buruk ataukah sesuatu yang baik? Apakah bahaya itu sebuah ancaman kehancuran atau justru sebuah keselamatan? 

Dari satu kata saja sudah banyak menimbulkan banyak pertanyaan, dan apakah Tuhan hanya berpihak pada salah satu sisi saja? Tapi tidakkah Dia meliputi segalanya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun