Kalau mungkin datang pertanyaan kepada kita, "apa tujuan terus menerus mencari ilmu?" Dari situ kita akan mendapat jawaban yang bisa jujur, tapi bisa juga bohong. Hal itu akan dilihat dari kesesuaian laku yang kita dapati setelah jawaban itu.
Tidak bisa dipungkiri semakin banyak ilmu yang dititipkan, tentu berbanding lurus dengan amanat atau beban yang menjadi tanggung jawabnya. Namun, gambaran orang-orang itu pada di zaman sekarang pasti akan mendapatkan ganjaran atau hasil yang sepadan, hingga orang-orang berilmu itu dipandang orang yang berkucukupan dengan gaya hidup yang mungkin saja agak berlebihan.
Ilmu sudah pasti bermanfaat, tapi apabila didapat oleh orang yang hanya memanfaatkan ilmu sebagai ekskalasi pijakan karir diri seseorang, hal itu bisa membuat potensi kebermanfaatan ilmu yang didapatnya menjadi berkurang. Tentu saja ini hanya penilaian subjektif, tapi kenyataan zaman telah menyajikan data yang kini bisa kita rasakan bersama.
Banyak orang mencari ilmu dengan ekspektasi dan tujuan yang berbeda-beda. Sayangnya, materi masih menjadi skala prioritas dari upaya segala pencarian tersebut. Sehingga, ilmu-ilmu yang dicari dan didapat tidak memiliki kebermanfaatan yang maksimal. Segala sistem yang telah dibangun seadil dan sebijak apapun secara pandang manusia, tetap akan kalah dengan sesuatu iming-iming materi keduniawian.
Realita berbicara, bahwa semakin banyak orang berilmu secara akademis formal lembaga pendidikan, semakin bertambah pula tingkat kerusakan-kerusakan moral yang tidak berkesesuaian dengan daya intelektualitasnya. Tidak selaras dengan pembangunan-pembangunan yang didengungkan. Tidak mendapati transformatif budaya ataupun akselerasi pencapaian tingkat kesejahteraan yang selalu diupayakan pada setiap pemimpin.
Saya sendiri pernah merasakan begitu semangatnya mengejar ilmu-ilmu yang banyak dikejar tersebut. Setelah mendapatikannya, kepuasan justru menjadikan diri menjadi malas. Padahal, kemalasan itu membuat saya sendiri menjadi lalai akan tanggung jawab yang sudah dipegang selama ini. Saya justru enggan melakukan apapun apabila yang akan saya lakukan tidak mendapatkan balasan yang sepadan. Entah itu secara materi ataupun non-materi.
Dari situ saya mengalami bahwa ilmu itu akan menguap sia-sia. Keegoisan diri secara tidak langsung tumbuh subur menggerogoti cara pandang yang justru semakin transaksional. Apa-apa dinilai secara pamrih, bukan lagi dengan ketulusan. Bahkan, penilaian-penilaian pribadi pun sering dipaksakan ke orang lain untuk memahaminya. Jika tidak, hal itu menjadikan diri berkecil hati atau bahkan mungkin sakit hati.
Berilmu tapi semakin banyak tendensi atas apapun yang dilakukan. Rumit. Ruwet. Angl. Berilmu memang mampu menjadikan diri secara luwes, tapi kalau pondasinya tidak kuat justru menjadikan keluwesan itu sebagai tipu-tipu atau sandiwara diri. Lalu bagaimana bisa orang-orang berilmu itu diandalkan?
Disitu saya sadar, bahwa justru diri sendiri lah yang salah menaruh harapan atau berekspektasi terhadap orang lain. Bahwa kata-kata yang terlontar dari mulut mereka (orang yang berilmu) pasti akan menjadi kenyataan. Salah saya sendiri jika saya kecewa jika berharap kepada selain-Nya. Lantas saya menyadari, apakah selama ini saya tidak belajar niteni kata-kata saya sendiri?
Jangan-jangan ketika kita ingin mengandalkan orang lain, ternyata diri ini sebenarnya malas untuk dapat menjadi seseorang yang dapat diandalkan. Setidaknya bagi dirinya sendiri. Berilmu tidak dilihat dari segala pencapaian dan gaya hidup saja. Berilmu tidak berarti mampu menjawab segala pertanyaan. Berilmu bukan berarti lantas merasa menjadi pemimpin bagi yang lainnya.
Ilmu itu hanya alat, agar diri kita mampu menempatkan diri di posisi yang tepat dalam gelombang ruang dan waktu yang berubah-ubah. Ilmu itu tidak bisa menentukan kita tersesat atau tidak. Ilmu tidak bisa memastikan diri selalu menjadi orang yang baik dalam pandangan orang lain. Bahkan, ilmu tidak bisa memastikan keselamatan kita di masa-masa yang akan datang.