Genting surau mulai melambai
Menghias semesta nan riang bergerumuh
Tabir perlahan berbisik lirih
Mendendangkan asih yang teruntai waktu
Kasih, engkau ajak aku menikmati bulan sucimu
Saat aku masih berlumur hina
Dosa tak hanya menyelimuti tubuhku, namun juga merasuk hingga qalbuku
Apa gerangan engkau seret aku 'tuk menikmati waktumu?
Rayuan angan tak henti memekik rindu
Kau penjarakan kemesraan, sedang aku terjebak dalam "amhilhum ruwayda"
Pertemuan itu tak henti menyayat asih
Kau tawarkan kehangatan, sedang aku dijebak dalam "wa makaru wa makarallah"
Kalau semua ini hanya sendau guraumu,
Pertahanan diri apalagi yang akan engkau ajarkan kepadaku di rentang "kholodina fiiha abadaan"?
Surau-surau semakin menjadi liar semrawutan
"Marhaban Yaa Ramadhan. Marhaban Yaa Ramadhan. Marhaban Yaa Ramadhan"
Sebentar, sebentar...
Ramadhan mana yang mereka maksud?
Juragan nasi padang sebelah lapangan, ex-playmaker timnas, atau Pak RT depan masjid yang sangat dermawan?
Soalnya, mendengar Ramadhan yang dipikir hanya untung, untung, dan untung
"Ittaqullah haqqo tuqotihi"
Engkau suruh aku bersungguh-sungguh dalam takwa,
Namun bagaimana lagi aku harus bertakwa?
Sedang Engkau Yang Maha Kuasa atas takwa yang dilimpahkan kepadaku
Dusta apa lagi yang harus aku syukuri di waktu sucimu, Kasih!
Meski tiap waktu sekarang dan yang akan datang adalah lembaran nasuha,
Sediakah engkau selalu membuka ampunan kepadaku?
***
1 Ramadhan, 1442 H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H