Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tidak Ada Nilai Tanpa Ujian

6 Maret 2021   19:16 Diperbarui: 6 Maret 2021   19:20 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Piyapong Saydaung from Pixabay

Keindahan itu telah terwawat sebisa mungkin, melalui tangan-tangan yang berdedikasi terhadap amanat tanpa suka membuat tabir-tabir kepalsuan untuk menutupi dirinya. Namun, janganlah kau koyak-koyak diri dengan pemikiran-pemikiran dangkal dengan banyak melukai wajahmu yang diam. Kecuali kalau engkau akan menanam toxic atau racun itu sendiri karena luka yang dalam.

Kita bukanlah seekor merak yang sengaja menggugurkan bulu-bulu indahnya untuk menghindari sang pemburu. Bulu-bulu indah itu menjadi kenikmatan bagi kita, namun hal itu menjadi penanda yang sangat mudah bagi para pemburu. Bulu indah tersebut laksana kecerdasan, kekayaan, ataupun capaian hidup yang nantinya akan membahayakan "diri kita yang lain".

Perbedaan tak mungkin terindahkan, perperangan bahkan permusuhan tak mungkin bisa dihindarkan antara diri dengan diri yang lain. Atau katakanlah antara hati dan nafsu kita sendiri. Kita juga tak akan mampu memahami arti kepatuhan tanpa pengenalan akan nafsu diri itu sendiri. Misalnya saja, kita tidak akan pernah bisa mengalami penaklukan nafsu, tanpa pernah mengalami bagaimana berahiatau gairah nafsu itu tumbuh.

Kita selalu mengejar harapan, namun kita tidak sadar bahwa keberadaan kita juga bagian dari harapan yang lain. Kita ingin memangsa, namun kita tak sadar bahwa kita sendiri merupakan mangsa. Kita terlalu banyak bersenang-senang, bahkan tidak sadar telah masuk dalam kesenangan itu sendiri. Kita terlalu takut kepada segerombolan penguasa, yang menginginkan kita untuk tunduk atau lunak, sehingga mereka juga akan bersikap sebagaimana kita tunduk.

Kita dituntut untuk patuh terhadap sangkut-sengkarutnya kebiasaan yang suka menghina,meski berbalut kemesraan dan penuh romansa ikatan percintaan. Mengolok-olok, mengoyak-oyak daging segar saudaranya sendiri. Bukankah itu tuntutan yang sesungguhnya bertabiat pada kepuasan diri? Bahkan terhadap kebenaran?

Tapi sungguh, setiap denting waktu berlalu semakin bertambah banyak pula kecerdasan-kecerdasan yang semakin merajalela. Hal itu akan menjadi bekal yang sangat bermanfaat aoabila keadaan yang ada selaras dengan banyaknya kecerdasan yang telah dimiliki. Akan tetapi yang terjadi sebaliknya, keadaan semakin runyam tak menentu arah pembangunan dan kemerdekaan bersama yang ingin diselaraskan. Atau bisa juga, pandangan kita sendir yang sebetulnya masih terbatas akan nikmat yang sebenarnya lebih banyak daripada kerunyaman itu sendiri.

 Sedangkan ketika berbicara mengenai kecerdasan, terbesit satu pertanyaan, apakah potensi kecerdasan itu sama atau setara ketika kita dilahirkan? Pernah ada satu bahasan dari seorang pujangga menyatakan bahwa kecerdasan seperti apa yang dimaksud, karena ada perbedaan yang yang mendasar di dalam kecerdasan yang terhubung pada akal, yakni anatara universal dan parsial atau jasmani.

Lalu, djelaskannya bahwa kecerdasan tersebut terbagi menjadi 2 tipe. Kecerdasan pertama seperti yang dimiliki oleh kaum Bani Israil, yakni mencari keagungan dengan jalan merendahkan diri. Dan kecerdasan kedua, seperti milik Fir'aun, yang mencari keagungan dengan mengejar kedudukan dan kekuasaan duniawai, menuju kehancuran mereka sendiri. (Matsnawi, 398) Hal itu tak lain merupakan ujian bagi manusia, sebaik-baik apapun kita melakukan tipu daya dalam mencari pembenaran. Hal itu tidak ada gunanya, karena kita sendiri juga sedang berada dalam dimensi yang penuh tipu daya.

Sekalipun, kita cari-cari titik kesalahannya, selalu ada pembenarannya, begitupun sebaliknya. Jadi, siapa yang berani mengambil keputusan? Kamu, kelompokmu, atau Tuhanmu? Setidaknya kita menyadari bahwa tidak ada nikmat yang tidak mengandung ujian, begitu pun sebaliknya, tidak ada ujian yang tidak mengandung nikmat.

Tangisan saudara-saudara Yusuf pun tetap diketahui sekalipun mereka berhasil mengelabuhi apa-apa yang ada di hadapan mereka. Kita mesti berhati-hati dan lebih waspada, jangan sampai orang-orang itu menggelincirkan kita untuk masuk dalam pandangan mereka, sekalipun nantinya kita dianggap gila! Toh, semua itu tetap menjadi skala ujian bagi kita, karena tidak akan ada nilai tanpa hadirnya ujian-ujian tersebut. Nilai akan arti sebuah keselamatan, kelak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun