Malam itu, ketika Gus Welly dan Bewol sedang kopi darat, datanglah Rohmat dengan mimik yang tidak biasa. Rohmat yang biasanya terlihat ceria, namun kali ini dia datang dengan mbesengut.
"Kamu ini kenapa , Mat?" tanya Bewol.
"Sudah jelas gesture tubuh seperti itu menandakan kalau dirinya baru saja mengalami kekecewaan." canda Gus Welly.
"Ngawur kamu, Gus! Gini ini yang membuat ana-anak mudah congkrah, jangan mudah menilai seperti itu sebelum tabayun dulu ke orangnya. Dipastikan, dicari, dan dikonfirmasi terlebih dahulu." kelit si Rohmat.
"Sami'na wa 'atho'na, Yai Rohmat nan bijaksana!"
Mereka bertiga sudah memiliki intensitas waktu bersama yang sangat banyak. Interaksi dan komunikasi di antara mereka bertiga pun sudah dapat dipastikan bahwa tiada hari yang terlewatkan untuk saling sapa di antara mereka bertiga. Dari kebiasaan itu akhirnya mereka saling mengetahui dan memahami karakter masing-masing.
Secara tidak langsung, di antara mereka sudah banyak merekam data sifat-sifat yang biasa didapati. Jadi mau bagaimanapun, untuk saling berpura-pura di antara mereka bertiga sudah pasti terbaca. Kalaupun didapati kepura-puraan, sudah pasti secara tidak langsung salah satu yang menunjukkan kebiasaan itu sedang membutuhkan atensi atau pertolongan, namun terkendala rasa sungkan.
Hal itu lah yang terjadi kepada si Rohmat yang berpura-pura berkelit menyembunyikan wajah mbesengut di depan para karibnya. Tapi, berhubung Bewol dan Gus Welly peka dan sigap membaca situasi, dengan data gelagat yang ditunjukkan oleh Rohmat, maka mereka juga memiliki formulasi atau celah untuk dapat memberikan hiburan atau mbombong si Rohmat.
"Jadi orang tua itu berat, melihat anak-anak muda zaman now yang sudah pada pintar membuat alasan." Rohmat akhirnya membuka keresahannya. "Saya sudah banyak makan asam garam tentang kehidupan, tapi masih juga disepelekan." lanjutnya.
"Lhoh, memang masalahnya apa to?" tanya Bewol.
(Rohmat tak menjawab dan hanya diam selama beberapa saat)