Jika tulisan Selasan ini hanyalah rangkaian kata-kata formal, maka bisa dibilang bahwa tulisan ini hanya akan terdiri dari 3 hal, yakni kata benda, kata kerja, dan kata pelengkap. Namun tak adil jika kita hanya melihat secara tekstual, karena sebelum tadabbur terdapat tafakkur atau tadzakkur.Â
Lalu kalau hanya sebatas kata, bagaimana pengalaman selama 55 putaran ini mampu terwakilkan oleh 3 hal tersebut? Tentu saja ada kata-kata di luar formalitas, yang bisa dimaknai dan didapati oleh siapapun yang mengalami suasana Selasan, dan salah satunya menjadi Tadabbur Selasan.
Sudah 55 putaran Selasan diperjalankan dan dipertemukan untuk bersama-sama melantunkan wirid dan sholawat, yang pada kesempatan kali ini bertempat di Sanggar Soko Papat, Dusun Gadungan, Mertoyudan Magelang atau di kediaman Mas Munir. Salah seorang seniman muda di wilayah Magelang, yang identik dengan olah suaranya dan juga aktif di dunia teater.
Berbicara perihal kesenian, sudah pasti tidak bisa terlepas dari estetika dan keindahan. Hal tersebut begitu melekat di Sanggar Soko Papat dengan segala nilai budaya di setiap sudutnya, meski terkemas dengan segala rupa kesederhanaannya. Dan tak ayal hanya menjadi hijab untuk menyembunyikan kecantikannya bagi para pendamba  wujud atau rupa.
Kembali mengingat ketika pertama kali Selasan diadakan di tempat ini, pada waktu itu masih hangat-hangatnya situasi pandemi, lockdown perkampungan masih menjadi tren disana-sini, tapi Mas Munir justru berinisiatif dan menawarkan diri untuk ngunduh Selasan. Ketika pertama Selasan di Sanggar Soko Papat, tempat yang dibutuhkan hanya sebidang teras 3x3 untuk melingkar. Namun sekarang, hampir seluruh halaman rumah dan Sanggarnya nampak penuh oleh kehadiran dulur-dulur Selasan.
Keindahan atau kecantikan itu seolah berevolusi. Memberikan retorika penglihatan tanpa perlu menggunakan kata-kata. Terlepas dari segala unsur kesengajaan, rencana atau hasrat untuk menjadi indah, semua terjadi begitu saja.Â
Bahkan, keputusan untuk diselenggarakan di tempat Mas Munir pun baru didapat siang hari ba'da dhuhur. Seolah berkah wirid dan sholawat itu terkemas dalam sebuah perjalanan tawanan takdir karena Selasan telah mengalaminya, sementara takdir itu sendiri merupakan tawanan dari Yang Maha Pemberi Keindahan.
Apakah spiritual kita telah kaya? Sedang kita sendiri penikmat keindahan-keindahan yang hakiki yang terhampar dalam rangkaian wirid dan sholawat dalam Selasan. Tidak peduli bagian mana yang sedang dinikmati dan berhasil mencapai kepuasan dengannya, semua bagai cahaya yang silih berganti memberi terangnya.
Seiring berjalannya waktu, semuanya berada di dalam kemasan Selasan yang sama. Akan tetapi, rasa yang dinikmati tiap dulur-dulur yang mengalami sudah pasti berbeda satu dengan yang lainnya.Â
Kemasan Selasan sendiri tidak ada yang bisa menyusun formulasi atau mengetahui komposisi hingga menapaki level keindahan sendiri dari waktu ke waktu, melainkan dengan bekal iman, taqwa, dan cinta. Hingga tak terasa telah tertawan keindahan --baik lewat kata-kata, silaturrahmi, katarsis, canda, bahkan peluh yang tercurah--- yang tak lain mewujud atas dasar satu cinta yang sama.