Kita mengetahui betapa pentingnya ilmu untuk menjajaki segala kemungkinan yang bisa saja terjadi dalam kehidupan masing-masing. Karena dengan ilmu, kita dapat membuat road map untuk menuju atau mendapatkan sesuatu. Sehingga dapat meminimalisir resiko mengalami ketidaktepatan pemaknaan, kesalahan dalam mengambil keputusan, atau kegagalan untuk meraih sesuatu.
Secara definisi pada umumnya kita pasti sudah mengetahui apa itu ilmu. Lingkungan pendidikan yang menjadi tempat banyak mengambil ilmu secara terlambat sering diprasangkai justru sebagai tempat untuk mencetak robot-robot kapitalis. Pertanyaannya, kenapa hal tersebut baru kita dengungkan sekarang? Kenapa tidak di masa sekolah? Ekspresi seperti itu merupakan ekspresi rasa terima kasih atau kekecewaan?
Tema-tema pendidikan seperti itu sebenarnya sudah dimulai sejak lama di negara ini. Bahkan ketika bangsa kita mendapatkan kesadaran tersebut, bangsa-bangsa lain sudah terlebih dahulu menyadari dan menyoroti stigma bahwa pendidikan hanya akan melatih diri menjadi robot pembangunan yang tentu membangun suasana keresahan.
Saya lebih banyak mendapati orang-orang yang memegang stigma tersebut tidak sedang dalam struktur kepemimpinan yang diberikan tanggung jawab untuk memanajemen sistem pendidikan. Orang-orang di luar lebih banyak menganalisa dari fenomena-fenomena pada umumnya, dalam jangkauan pandang dirinya lalu digeneralisir. Apakah pendidikan memiliki tanggung jawab atas nasib ataupun takdir seseorang? Bahkan orang tua pun tidak sanggup memastikannya.
Baik, seandainya engkau mengetahui, apa ayang sudah kamu lakukan sebagai salah satu upaya untuk mengkhalifahi dunia pendidikan? Apa kebiasaan kita hanya suka nyinyir terhadap sesuatu yang tidak sejalan dengan idealisme kita? Ketika kita berbicara atau mungkin menulis, adakah kita memegang komitmen setidaknya terhadap diri sendiri atas apa yang telah diucapkan atau dituliskan? Atau peran apa yang akan kita ambil setidaknya sebagai salah satu wujud respon yang solutif?
Ilmu itu bukan sebatas mengetahui sesuatu. Bahkan kalau dalam Jawa ada istilah "ilmu kelakone kanti laku". Oleh karena itu, ilmu seharusnya akan membuat diri semakin produktif, bisa dalam hal apapun. Dan kita mengetahui ketika ada tuntutan untuk produktif, itu pasti akan terkait dengan laba. Hanya saja keluasan dan kedalaman ilmu akan terlihat dari laba seperti apa yang ingin didapatkan.
Selama kita berada di dunia pendidikan formal, pada umumnya >90% ilmu yang diajarkan adalah untuk meningkatkan mutu diri demi memperoleh laba dunia sebaik-baiknya. Agar bisa lebih bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya. Kebiasaan seperti itu sudah menjadi dewasa, karena kita tidak sadar telah dibatasi kedaulatan diri kita dengan ancaman-ancaman keadaan masa depan yang tidak baik apabila tidak mengikuti budaya pendidikan ini.
Sedikit terpantik dari Mocopat Syafaat edisi bukan ini, dalam berilmu, laba itu tidak sebatas di dunia, tetapi juga ada laba akhirat. Ketika berproses mengaplikasikan ilmu, orang yang memilih laba dunia atau akhirat akan terlihat dari produktifitas seseorang dalam mengambil peranan tertentu. Dan dari hal ini pula, ruang pendidikan akan semakin meluas menabrak batas-batas kewajaran yang selama ini telah menjadi dogma.
Dalam perjumpaan sekecil apapun, kita dapat menciptakan ruang tersebut menjadi ruang pendidikan. Tentu dengan syarat utama, bahwa kita masing "nol putul" (kosong) terhadap pengetahuan. Dari kosong kita akan lebih banyak mendengarkan dan memperhatikan. Berbeda ketika dalam pertemuan, kita sudah merasa memiliki isi, yang terjadi kita pasti juga ingin mengutarakan isi yang kita bawa.
Benturan akan terjadi apabila kita tidak mau kalah atas pendapatnya masing-masing. Tapi, apabila ilmu yang selama ini dipelajari ternyata tidak menambah pengetahuan, akan tetapi sebaliknya, justru menambah diri merasa semakin bodoh. Dan merasa bodoh itulah salah satu wujud kerendah-hatian yang ternyata menandakan kedalaman ilmu yang telah dimiliki.
Namun pada kenyataannya, ilmu justru dijadikan ajang untuk mencari yang terbaik. Orang yang dpandang memiliki banyak ilmu belum tentu memiliki kebijaksanaan dan akhlak sebagaimana mestinya laku para cendekia. Orang yang semakin banyak ilmu justru semakin membatasi dirinya untuk dapat berbaur dan membersamai sesuatu, bahkan tidak sanggup menjaga komitmen dengan perkataannya sendiri.