Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Revolusi Akhlak? Cukuplah Jadi Seorang yang Giat!

16 November 2020   16:29 Diperbarui: 18 November 2020   04:34 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: unsplash/joshua newton)

Ketika membayangkan ada ide tentang revolusi akhlak, yang ada di pikiran saya adalah bagaimana cara untuk menetapkan standar perilaku yang baik sehingga bisa masuk ke dalam akhlak yang dituju.

Tentu saja, ide ini sangat otentik dan menjadi cerminan bagaimana seseorang sangat menginginkan perubahan terhadap akhlak. Dan di sisi lain, memang sudah seharusnya akhlak menjadi buah dari segala ajaran agama, yang menjadi landasan sila pertama Pancasila.

Bahkan, dalam agama saya pun, junjungan kami Nabi Agung Muhammad SAW juga mendapatkan perintah bukan untuk mengajarkan agama, tapi untuk memberikan suri tauladan atau mencontohkan akhlaqul karimah. 

Tapi, apakah akhlak bisa menjadi sesuatu yang distandardisasi dengan mencanangkan kata revolusi?

Menarik! Bahkan, kekasih-Nya pun tak memiliki tanggung jawab untuk memastikan setiap orang pada masanya dapat memiliki akhlak yang baik. 

Entah betapa banyak hidayah yang mesti dipetik dalam tangis sujud pengakuan "la ilaha illa anta subhanaKa inni kuntu minadh-dholimin (tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang dholim)".

Atau sanggupkah aku berterus-terang kepada-Nya sehingga dapat kugali segala hikmah yang selama ini terlewatkan dan dengan penuh kerendah-hatian kita merintih, "Robbana dholamna anfusana wa in lam taghfir lana wa tarhamna lanakunanna minal khosirin (Ya Allah, kami telah mendholimi pada diri kami sendiri, jika tidak engkau ampuni kami dan merahmati kami tentulah kami menjadi orang yang rugi)."

Semua itu palsu ketika revolusi akhlak dibuat semacam kurikulum pembelajaran tanpa diawali dengan pengakuan-pengakuan atas dosa. Semua itu tidak mungkin akan bisa tercapai ketika kita enggan mengawalinya dengan membersihkan diri. Sama halnya ketika akan melakukan ritual peribadatan tertentu, sebelumnya kita diharuskan untuk menyucikan diri.

Perlu diketahui bahwa subjek utama perubahan akhlak bukan diri sendiri, melainkan hanya Allahu Ahad. Diri ini tidak akan pernah bisa mampu menahan segala godaan dan rayuan yang mengajak kita menuju pikiran-pikiran yang curang dan menghendaki nikmat diri. Karena segala sesuatu yang pada akhirnya mampu dirumuskan pasti merupakan hasil dari sesuatu yang nampak dan telah terjadi. 

Dengan kata lain, semua itu merupakan buah proses belajar dari pengalaman. Pengalaman merupaan guru terbaik karena "La haula wa quwwata illa billahil-'aliyyil 'adhim", tidak ada sesuatu daya dan kekuatan apapun yang akan terjadi tanpa ijin/kehendak-Nya.

Sedangkan akhlak sendiri merupakan hasil dari sebuah ijtihad terhadap ilmu. Mengapa? Karena tanpa ilmu, semua pikir akan berpotensi menjadi sebuah kesembronoan ketika diwujudkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun