Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menawar Kehancuran Diri

4 November 2020   16:14 Diperbarui: 4 November 2020   16:15 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore itu, ada ajakan dari Mbah Nun untuk mencoba menuliskan sesuatu yang panduannya telah tersaji dalam Tajuk "Quiz Ular". Tentu, ajakan ini sangat menarik karena jarang sekali Mbah Nun memberikan ajakan seperti ini. Sebenarnya banyak, hanya saja mayoritas dari ajakan atau dhawuh lebih banyak disampaikan secara tersirat daripada mengajak secara langsung. Karena menurut saya, hal itu dilakukan Mbah Nun agar Masyarakat Maiyah lebih terlatih kemandirian atau kedaulatan  berpikirnya.

Quiz ular ini mengajak kita untuk meng-husnudhdhoni angka 2020. Lalu, kita diarahkan menuju surat ke-20 (Thaha), ayat ke-20. "Dan dilemparkannya tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat". Namun sebelumnya, saya akan menekankan bahwa apa yang tertulis utamanya tidak lain merupakan peringatan bukan untuk pembaca, melainkan bagi diri saya sendiri.

Saya mentadabburi ayat tersebut lebih ke opsi B, yakni ular yang menjelma merupakan tongkat dari Musa. Lalu mengapa ular tersebut merayap dengan cepat? Menurut saya hal tersebut adalah prasangka. Orang-orang sangat dengan mudah melempar prasangka-prasangkanya, terlebih di media-media sosial. Semua saling unjuk gigi atas kebenaran yang masing-masing dipegangnya.

Kita secara tidak sadar terlalu berprasangka buruk terhadap keadaan. Bahkan, Nabi Musa pun ketakutan terhadap ular tersebut. Sedikit saya mengambil contoh yang disampaikan oleh Kyai Muzzamil pada saat Bangbang Wetan rutinan di Kadipiro. Beliau memberi pertanyaan yang kurang lebih menyatakan kira-kira hal apa yang membuat Nabi Musa tidak lulus ketika berguru terhadap Nabi Khidir? Jawabnnya yakni karena ilmu yang Nabi Musa bawa.

Hal ini pula yang akhirnya membuat Nabi Musa sedikit ketakutan tatkala tongkatnya tiba-tiba menjadi ular. Data yang beliau dapatkan selama ini tentang tongkatnya ada pada ayat ke-18, yang mana biasa Nabi Musa gunakan untuk tumpuan, merontokkan dedaunan untuk makanan kambingnya, dan beberapa manfaat lainnya. Ilmu yang didapat dari data tersebut tak pernah memberikan gambaran tentang perubahan tongkatnya menjadi ular.

Saya mentadabburi tongkat Nabi Musa ini bisa menjadi analogi sebagai ilmu yang kita miliki masing-masing. Selama ini kita banyak menggunakan ilmu sebagai media untuk mencapai kemerdekaan. Atau mungkin dengan ilmu kita cukup mudah untuk mendapati kedamaian. Tapi, apakah kenyataannya seperti itu?

Ilmu seringkali hanya digunakan sebagai pemanis, terlebih bagi kita atau mungkin saya sendiri yang sedikit terbiasa merangkai kata. Karena lebih sulit untuk mengamalkan sebuah ilmu daripada mendapatkannya di zaman sekarang ini. Terlebih tidak ada hukuman secara langsung ketika kita sering tidak menepati kata-kata yang telah diungkapkan sendiri. Dan Tuhan pun banyak mewanti-wanti di dalam suratnya terkait kedholiman.

Jika opsi pertama (A) mengibaratkan ular-ular dari penyihir sebagai covid-19, maka ular prasangka yang kita lemparkan sebgai ilmu akan menjadi tandingannya. Kita mungkin sedang dalam fase ketidaktahuan masal, namun kita memiliki keyakinan kepada tongkat yang biasa kita gunakan sebagai tumpuan. Bukan kehebatan ilmu yang dimiliki, melainkan kepercayaan kita kepada sesuatu yang biasa kita gunakan sebagai tumpuan. Bisa itu sebagai wujud keimanan, laku ibadah, sholawat, dsb.

Ketika Tuhan berfirman, "Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula" (20:21). Saya ber-husnudhdhon bahwa kita mendapatkan perintah untuk percaya, teteg dan manteb terhadap sesuatu yang kita terbiasa bertumpu kepadanya. Meskipun ketakutan sering memaksa kita untuk mengingkari perintah tersebut, tapi di situlah sebenarnya kesempatan kita untuk mempelajari batas. Agar kemerdekaan yang didapatkan itu tidak palsu dan benar-benar bisa memberikan kedamaian.

Selanjutnya, "dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia ke luar menjadi putih cemerlang tanpa cacad, sebagai mukjizat yang lain (pula)" (20-22). Saya mentadabburi bahwa sikap ini merupakan perwujudan sikap sembahyang atau sholat. Selain itu saya juga sering melihat mereka yang mengapitkan tangannya seperti itu saat orang-orang sedang bersholawat. 

Seolah-olah mereka sedang berusaha untuk menikmati kehangatan akan sebuah pelukan mesra. Dan putih cemerlang yang didapatkan adalah ketenangan untuk lebih dapat mengendalikan diri. Agar lebih waspada dan berhati-hati, bukan kepada sesuatu yang ada di luar diri namun justru sebaliknya.

***

Sedikit tambahan; ketika saya mencoba menelisik "Quiz Ular" tersebut, tiba-tba sepintas muncul rangkaian angka yang lain, yaitu 2111. Saya mencoba kepo terhadap angka tersebut dengan formulasi yang sedikit berbeda. Jika Mbah Nun mengambil 20-20 sebagai tahun, saya mencoba sedikit improvisasi dengan angka 21-11 sebagai tanggal dan bulan.

Lalu, saya dipertemukan dengan ayat, "Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri yang dholim yang teIah Kami binasakan, dan Kami adakan sesudah mereka itu kaum yang lain (sebagai penggantinya)" (21:11). Ada ketersambungan yang saya garis bawahi, yakni kata dholim. Mungkin ini akan menjadi lebih luas jika diteruskan, akan tetapi saya hanya mencoba lebih ringkas dalam menyampaikan apa yang sudah menjadi tugas.

Jika kita lebih membaca ayat sebelum dan sesudahnya, itu akan menjadi lebih menarik. Keadaannya mungkin tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi saat ini menurut sepemahaman saya. Tak jarang orang mereka  yang kurang bisa meresapi nikmat dan menyangkanya sebagai suatu adzab, justru memilih untuk alternatif lain yang lebih mudah, misalnya dengan berpindah ke suatu tempat yang dirasa aman.

 Hingga sampai di ayat ke-14, dalam firman tersebut terdapat sebuah pernyataan, "Aduhai, celaka kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang dhoIim" (21:14). Lantas kebinasaan seperti apa yang akan kita alami? Bisakah kita menawarnya? Atau setidaknya masih adakah kesempatan untuk segera memperbaikinya? Setidaknya dengan mengambil kembali tongkat yang telah dilemparkan atau dengan membiasakan diri mengambil sikap mengapit tangan di bawah ketiak dengan harapan keadaan bisa kembali seperti semula.

***

Magelang, 3 November 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun