Gemuruh dari langit menjadi teman setia perjalanan kami menuju kediaman Mas Mizhar di Dusun Caruban, Ngluwar. Mendung pun seolah sengaja dibiarkan bersembunyi di balik temaramnya malam, agar tidak mengganggu niat keberangkatan para dulur yang ingin bersilaturrahmi di Selasan.Â
Atau gemuruh itu menjadi getaran yang memacu untuk segera melaju, bagi mereka yang telah kalang kabut menyembunyikan rasa rindunya untuk segera menyapa Sang Kekasih bersama-sama.
Tak terasa waktu yang semakin larut, wirid mesti segera dimulai. Ada beberapa poin yang dijadikan lemek/landasan sebelum memulai acara yang disampaikan oleh Mas Virdhian, diantaranya memperbarui niat, lebih menikmati atas rasa syukur atas segala kebaikan, mempererat tali silaturrahmi, memperhatikan adab/etika ketika bermunajat, serta pengendapan rasa beberapa menit setelah selesai bermunajat.
Dulur-dulur lantas menata hati, pikiran, dan sikapnya ketika tawassul sudah dilantunkan. Hingga Selasan ke-46 ini, jangan kira hanya yang bernyawa saja yang diberi kesempatan untuk menikmatinya.
Bahkan, huruf-huruf yang terangkai menjadi kata, kalimat, dan mampu memberi makna ini pun ikut diberi kekuatan untuk selalu berjalan bersama. Darimana semua itu bermula?
Melalu wirid dan sholawat, setidaknya kita selalu teringat, bahwa tiada semua ini tercipta tanpa cinta Allah kepada kekasih-Nya. Dan manusia selalu berusaha melakukan perbaikan, utamanya dalam hal kebatinan, melalui wirid dan sholawat dalam Selasan ini. Namun, tidakkah kita tersadar bahwa dalam setiap kegiatan perbaikan sendiri selalu memiliki tujuan demi sebuah pembangunan?
Sebagian melakukan perbaikan untuk memperolah ganjaran surga. Sebagian dibangun demi menunjukkan kemurahan hatinya, atau sebagiannya lagi dilakukan untuk memperoleh kemasyhuran.Â
Semua usaha perbaikan itu bergejolak dan saling berbenturan dalam kelembutan sapaan kepada-Nya. Mengalun dalam getaran-getaran asih yang menjadi bagian dari penyucian hati dan diri (tazkiyatun nafs).
Jadi, mereka yang datang ke Selasan ini setidaknya mereka selalu berendah hati dan sadar diri, bahwa masih banyak kotoran-kotoran di dalam dirinya yang butuh disucikan. Kita bukanlah ahli ibadah yang sudah cukup banyak melakukan peribadatan sehingga terbebas dari kotoran hati.
Kita masih membutuhkan banyak pertolongan atas kecerobahan diri yang selalu saja masih dilakukan. Sampai terkadang malu dan tak pantas diri ini memohon di hadap-Mu, karena begitu banyak kotoran-kotoran itu menumpuk di tubuh kami.
Cahaya rahmat yang datang membawa kebahagiaan itu mungkin saja datang untuk memanfestasikan asih-Nya dalam Selasan. Dan pada saat kebahagiaan itu datang, kita tidak lagi peduli terhadap segala perbaikan yang coba dibangun, bahkan kepada diri kita sendiri. Larut dalam pengabdian hingga tak sadar telah sejenak melepas pakaian fisik material kita.