Setelah mendengar kabar duka atas meninggalnya Bunda Cammana, hal tersebut kurang lebih membuat saya sejenak menghabiskan waktu dengan berdiam diri sembari menggoreskan beberapa kata setelah mengamalkan sesegera mungkin amanat yang diperintahkannya. Harus berapa kali kita mesti merasakan kehilangan yang hidup, terutama yang telah memberikan cinta dan kasihnya yang tulus tercurah kepada diri yang masih banyak menemui ketersesatan.
Ya, Bunda Cammana telah kembali pulang. Meski jasad telah tiada, tapi sudah menjadi sebuah kepastian bahwa beliau akan tetap hidup, terutama bagi saya sendiri. Memperkaya warna 'navigasi hidup mati' yang semakin menambah indah panorama perjalanan hidup. Meskipun baru sekali mendapat kesempatan untuk bemuwajjahah langsung, namun itu cukup banyak menguras energi untuk sekedar menahan peluh yang tak kuasa terbendung.
Pada 23 November 2019 saya dan saudara-saudara lain dari Jawa, Kalimantan, dan Sumatera diperjalankan menuju rumah Bunda Cammana. Sambutan dari adek-adek lengkap dengan rebana di tangannya, begitu meriah memberi kegembiraan kepada kami. Dari jauh, senyum Bunda Cammana merekah indah menyambut kami dari beranda rumah bersama bebeberapa kawan yang sudah sampai terlebih dahulu. Sesampainya disana, langsung tersaji makanan dan kehangatan pun langsung tercipta sembari saling berbagi kisah dan cerita.
Saat semua asik bercengkerama, saya pun memilih keluar ke teras rumah Bunda Cammana. Mencari hiburan dengan mencari pemandangan sekitar dari pepohonan, bangunan, serangga, ataupun para tetangga yang berlalu-lalang di sekitar rumah. Dengan harap agar peluh itu tak terurai. Namun nyatanya yang terjadi tetap tak bisa terkendali. Sembari menyalakan sebatang rokok, bulir-bulir peluh itu mulai terjatuh bergantian.
Sosok Bunda Cammana sendiri telah mengingatkan tentang salah satu Mbah Putri yang sering saya panggil "Ibu". Ibu yang selalu mengajak saya pergi ngaji ketika masih berusia lima tahunan. Ibu yang sering menunjukkan cintanya ketika Topan kecil suka bermalas-malasan untuk pergi ke Langgar dekat rumah. Ibu yang selalu ada di masa-masa kanak-kanak yang terkadang memiliki peran pengganti lebih dari sekedar orang tua.
Rombongan anak-anak kecil asuhan Bunda yang memberikan hiburan dengan nyanyian dan sholawatnya menambah sempurna flashback perjalanan ke masa lalu. Saya yang dulu pintar bermain rebana, saya yang dulu pernah menjuarai perlombaan adzan, semua pencapaian itu takkan pernah bisa tercapai tanpa asuhan dari sesosok Ibu. Saya mungkin belum mengenal Bunda Cammana, tapi sosok beliau sungguh teramat dekat.
Pertemuan singkat itu memberi kesan yang teramat dalam. Seperti makna dari salah satu bait yang dinyanyikan oleh Bunda Cammana, yang diartikan ke dalam bahasa Indonesia oleh Pak Hamzah, "jejakmu akan terekam di hati, cintamu akan teringat di hati." Hubungan yang sebelumnya sudah jauh terikat sejak kehadiran Mbah Nun, terasa sempurna dengan kehadiran anak cucu beliau ke dalam dekapan langsung Bunda Cammana.
Kabar telah berpulangnya Bunda Cammana ini menambah sosok-sosok peran seorang "Ibu" yang harus berpulang lebih awal. Mengumbar raga yang ditinggal berkelana sendiri dalam arah yang belum bisa dipastikan kebenarannya. Tidak bisa dipungkiri bahwa itu merupakan sebuah kehilangan, namun bukankah kehilangan adalah suatu kepastian bagi yang hidup? Bukankah dari kehilangan pada akhirnya akan melatih kita akan pertemuan-pertemuan yang lebih sejati?
Saya tahu engkau bahagia, dan saya sendiri akan selalu berusaha memastikan bahwa engkau tidak kesepian dan menemukan kebahagiaan sebagaimana engkau mengajarkan saya, kepada kami, kepada seluruh hamba-hamba yang mengenalmu. Sebagai seorang anak, saya akan terus berusaha agar sapaan-sapaan doa kepadamu tervalidasi sebagaimana doa anak-anak sholeh lainnya, sebagai salah satu di antara 4 amalan yang tidak terputus.
Sugeng tindak, Ibu! Sampai berjumpa kembali. Salam cinta dari anak cucumu yang jauh bersembunyi di salah satu sudut Pulau Jawa.