Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Limitasi Pemaknaan dalam Setiap Gerak

23 Juli 2020   16:51 Diperbarui: 23 Juli 2020   16:48 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setiap gerak pada akhirnya akan berbenturan antara satu dengan yang lainnya. Semua akan pada sampai titik kesadaran akibat dari benturan tersebut, mulai dari luka yang nampak dan dapat dirasakan oleh panca indera hingga luka yang tak berbekas dan hanya hanya bisa dirasakan oleh hati karena kelembutan benturannya.

Gerak manusia pada umumnya monoton dan mudah diprediksi arah tujuannya. Setiap insan menyibukkan diri dengan sesuatu setiap harinya. Ada yang sibuk dengan cinta pada lawan jenisnya. ada yang sedang fokus mengejar harta benda dan uang yang selalu diupayakan. 

Begitu pula dengan yang banyak mengisi waktunya dengan terus-menerus bergerak sebagai arena untuk mencari ilmu. Masing-masing dari mereka percaya pada kebahagiaan dan kesejahteraan akan terpenuhi dengan memegang prinsip kepercayaannya yang menyibukkan tersebut.

Segala rasa keingintahuan akhirnya menguji niat-niat yang telah terbangun sebelumnya. Membenturkan gerak kelembutan yang telah ditetapkan jalannya selama ini. Pilihannya hanya tetap akan melaju dengan mengindahkan keingintahuan, berhenti karena kebingungan, atau berbelak arah dari niatan awal. Dan semua itu bermanifestasi dalam segala laku kehidupan.

Manusia tidak bisa betul-betul menilai gerak yang lain, kecuali hanya mengidentifikasi atau menetapkan suatu prasangka atas simulasi kejadian yang sudah lalu. 

Namun, keindahan benturan tersebut seringkali dipersempit oleh ruang benar dan salah oleh orang-orang yang merasa telah mengetahui dan memahami. Sehingga memperbesar potensi konflik dari sekedar batin, menjadi adu mulut sampai adu jotos. 

Entah karena sudah overload dosis egonya atau karena ketersempitan jiwa dan cakrawala pandang. Di sisi lain, kurangnya ikatan dan saling komunikasi akan semakin mudah menyulut api perselisihan.

Padahal, semua itu bisa dinikmati sebagaimana mestinya. Hanya saja, konflik yang tersulut biasanya terjadi karena kurang tepatnya memposisikan diri dalam ruang gerak kehidupan yang dinamis. Diam terkadang diperlukan untuk mengetahui dan memahami posisi diri. 

Menurut seorang alim, diam di depan orang-orang bodoh mampu menyelamatkan diri. Sebaliknya, diam di hadapan orang-orang cerdas akan mampu menambah ilmu diri. Meski sekedar mendengarkan, setidaknya hal tersebut akan menjadi proses dekonstruksi cara pandang yang selama ini dipakai.

Dari proses tersebut, nantinya sedikit demi sedikit, diri sendiri seperti menemukan sebuah habitat baru. Sebuah lingkungan dimana sesuai dengan tempatnya. 

Dalam kenyataan, kejadian tersebut butuh waktu dan juga proses tergantung niat dan keberanian memegang prinsip yang harus radikal ditempakan ke dalam diri sendiri. Hanya saja, keadaan juga akan menguji keberanian tersebut apabila benar-benar menginginkan sebuah perubahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun