Tidak ada takdir yang buruk, semua yang telah terjadi hakikinya merupakan kehendak Yang Maha Kuasa. Manusia hanya bisa menyadari peran sehingga tahu cara memposisikan dirinya di dalam wilayah-wilayah keadaan yang hadir lalu-lalang.Â
Kita merasa diberi kebebasan untuk menentukan takdir dengan banyaknya pilihan gambar mengenai angan-angan keberhasilan, kesuksesan, maupun kemapanan. Kita merasa sanggup sehingga selalu belajar untuk berusaha menggapai dan mewujudkan segala cita selama mengarungi perjalanan hidup.
Namun, Tuhan selalu merencanakan sesuatu bagi hamba-hambaNya dengan cara yang misterius. Dengan strategi yang tidak mungkin dapat dijadikan standar kepastian bagi seluruh manusia, sekalipun mayoritas makhluk ataupun seluruh makhluk membenarkan standar tersebut. Tidak ada yang sanggup merumuskan misteri master plan Tuhan membagikan welas asih-Nya kepada kehidupan yang diciptakan.Â
Sedang manusia, saling berebut prasangka kebenaran akan Tuhannya. Karena merasa dibela oleh Tuhannya hingga merasa dibebaskan untuk memaksakan standar kebenaran subjektifnya atas ketidaksesuaian nilai akan segala sesuatu yang ditemui.
Kita sering tidak sadar akan melakukan apa saja asalkan mampu mendatangkan kebahagian. Begitupun sebaliknya, kita juga sering tidak sadar akan mengupayakan dan membeli apa saja asalkan mampu menghilangkan rasa sakit ata menunda waktu kematian. Begitulah kepastian umum dari sesuatu yang hidup.Â
Hanya saja, kita acapkali lupa telah dititipkan amanah untuk mengkhalifahi kehidupan sementara yang menjadi tempat tinggal kita saat ini. Kita hanya sibuk untuk mendapatkan kebahagiaan dan sibuk berkompetisi dalam kebenaran, dengan harapan mampu mengekskalasi perhatian publik terhadap dirinya jika memenangkan permainan tersebut.
Lantas, apakah kemenangan itu yang diinginkan? Apa kita telah merasa menang dengan pencapaian-pencapaian hidup yang telah didapat, hingga terkadang enggan mendengar bait hayya 'alal falaah, mari menuju kemenangan.Â
Tapi untuk mendapatkan kemenangan itu, pernahkah kita menyadari pondasi iman Allahu Akbar, ketulusan bersyahadat, dan ketaqwaan dalam laku hayya 'alash-shalah. Patut kita perhitungkan dan timbang-timbang kembali jika banyak yang dirasa telah meraih kemenangan-kemenangan dalam hidupnya.
Segala sistem pendidikan menitipkan ilmu agar kita lebih mudah memberikan penilaian. Padahal, dalam sistem tersebut sangat jarang menekankan Tuhan sebagai subjek utama sebagai pemberi segala pengetahuan yang didapatkan.Â
Buktinya, kita masih mudah merendahkan mereka yang tidak memiliki kesempatan menempuh pendidikan formal hingga strata tertentu. Sampai sini, wajar jika Al-Ghazali mengatakan jika seseorang yang mendapatkan ilmu pada tingkatan pertama akan membuat diri tinggi hati. Sebelum akhirnya tetap akan berendah hati bahkan lebih memilih berdiam diri karena merasa tidak mengetahui apa-apa.
Saling memberikan peniliaian ini berada di level yang semakin akut akhir-akhir ini, sekalipun itu merupakan bagian dari proses pembelajaran bersama. Akan tetapi, yang menjadi perhatian adalah akhlak cara menyampaikan dan berdiskusi.Â