Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tanpa Tatap

1 Juli 2020   16:17 Diperbarui: 1 Juli 2020   16:17 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam perjalanan, banyak nampak perempuan-perempuan tangguh di segala rentang usia. Ada perempuan mungil yang murung di pangkuan ibunya. Ada perempuan dewasa berseragam selepas pulang sekolah yang tersenyum riang dengan sepeda yang dikayuhnya. Bahkan, sekilas kepergok seorang ibu sedang menatapku di tepian jalan. Yang mungkin sedang menanti seseorang menjemputnya selepas bekerja.

Yang murung, kelak akan mendapatkan kebahagiaannya meski suatu saat akan kembali murung. Yang tertawa bahagia, suatu saat akan mendapati sebuah pelajaran pedihnya kehilangan meski kebahagiaan akan ditemuinya kembali. Bahkan, yang sedang dirundung kesunyian dalam penantian, pasti akan dipertemukan dengan sesuatu atas ketulusan penantian yang telah dirasakan.

Sesekali, para ibu itu menangis di sudut dapur nan terdengar riuh meski sendiri. Bukan karena irisan bawang, namun karena keheningan yang dirasakannya. 

Para perempuan tangguh tersebut melakukan sesuatu yang bukan untuk dirinya. Dia rela beranjak keluar rumah sebelum fajar menyapa, dengan dingin yang dirasa mampu menembus qalbu. Demi keluarga, yang terlalu banyak menuntut ini dan itu hingga sering terlupa membalas perhatian asihnya.

Bagaimana bisa Bunda Maria itu mengandung tanpa sebuah pertemuan? Lantas bagaimana Bunda membesarkan anaknya? Dengan begitu banyak hujatan prasangka diarahkan kepada dirinya. 

Bagaimana ia mampu bertahan? Ataukah Tuhan benar-benar memberikan jaminan rasa aman lewat tangan malaikat-malaikat-Nya? Bagaimana Bunda memiliki Iman? Meski tak melakukan protes seperti apa yang dilakukan oleh Nabi Musa hingga gunung itupun seketika hancur

Tentu, standar nilai kehidupan yang baik bagi seseorang tidak bisa dipaksakan ke berbagai lapisan kehidupan, dengan latar belakang/basic yang juga berbeda satu dengan yang lainnya. 

Hal tersebut nantinya akan mempengaruhi respon ketika dihadapkan dengan sebuah gejolak yang sering dikira sebuah masalah, meski sebenarnya itulah yang memberi keindahan dalam hidup.

Terlepas dari kehebatan seorang wanita, kita semua dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang datang silih berganti bagai ombak yang terus saja mendera bibr pantai. Memaksa mereka menampung sampah-sampah yang dibawa entah darimana. Dan menerimanya dalam senyap. Lihatlah bagaimana keegoisan dan keangkuhan di antara 2 sisi pilihan, perhatikan ketulusan dan keikhlasan tanpa menunjukkan alasan-alasan.

 Tidakkah kita sedikit saja menengok dan lebih memberi perhatian kepada perempuan-perempuan itu, yang tersungkur letih mengurusi rumah, sepi tanpa ada teman mendengarkan segala keluh kesahnya, atau ingin menjerit sekeras-kerasnya di depan suami yang masih saja mengeluh tentang kenikmatan dan kepuasan hasrat bercinta di atas ranjang. Meski tak tahu mengapa standar itu justru berubah, apa ada perempuan lain. Ah, bangsat!

Atau sebaliknya, bagaimana para laki-laki itu berjuang demi keluarga tanpa kejelasan hasil. Yang bergerak dengan begitu banyak bekal pengharapan kepada Tuhan untuk diberikan sedikit saja cahaya hanya demi mengisi perut anak-anak dan istrinya. Belum, dengan ancaman Sang Istri yang akan pergi meninggalkannya jika perjuangan tak kunjung berpengaruh terhadap nasib kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun