Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saling Klithih Demi (Kebenaran) Keadilan dan Kesejahteraan

18 Juni 2020   16:08 Diperbarui: 18 Juni 2020   16:22 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Klithih adalah suatu tindakan pengecut yang hanya berani dilakukan di balik layar. Modusnya pun tidak bisa dibenarkan bahwa tindakan klithih merupakan suatu cara untuk menunjukkan kekuasaan, malah justru sebaliknya hanya menunjukkan mental penakut yang sangat kontras dengan dampak keresahan yang dtimbulkan. Meski dengan perawakan garang dan berbekal senjata tajam, hal itu semakin menjelaskan ketidakgagahberanian seseorang yang menggunakan kepicikan seperti klithih.

Namun kebetulan, mereka tumbuh di kawasan yang banyak ditinggali oleh orang-orang dengan kesamaan mental yang sama. Yang hanya melihat hal-hal kekejian sebagai sebuah ancaman, sedang banyak di antara mereka mengejar sesuatu yang lebih mengancam tatanan kehidupan meski atas nama menjawab tantangan zaman. Yang siap mengeksploitasi apapun demi mengumpulkan pundi-pundi rekening untuk bekal kehidupan di masa depan.

Jadi, wajar jika ketenangan mereka dalam merakit masa depan terganggu oleh hal-hal kekejian. Mereka memandang masa depan seolah mereka telah mendapatkan ijin untuk hidup berpuluh-puluh tahun ke depan. Entah pernyataan tersebut termasuk prasangka baik atau kesombongan zaman, akan tetapi pada dasarnya kita hidup di masa kini dengan segudang PR kekejian dan ketidakadilan.Yang hidup dalam skala waktu peradaban akhir zaman.

Bayangkan saja jika kita hidup di antara para Rasul yang merintih meminta pertolongan, "Ya Tuhan, tolonglah aku, karena mereka mendustakan aku." Hingga mereka ditenggelamkan dan dibuat menyesal sampai-sampai dibinasakan pada zaman Nabi Nuh, Nabi Hud, atau Nabi Musa. Apakah kita tidak belajar dari akhlak yang didapat? Atau jangan-jangan yang kita lakukan bukanlah proses pembelajaran, melainkan pencarian pembenaran?

Di manakah posisi kita sebenarnya, apakah berada di kawasan orang yang mengerti dan mengerti bahwa dirinya mengerti? Sehingga merasa pantas untuk didekati dan mendapatkan banyak "like dan follower"? Apakah kita berada di maqom yang setara dengan orang-orang pilihan? Sehingga pantas merasa mesra dan akrab dengan Tuhan untuk menuntut ketidakadilan atas kedholiman-kedholiman zaman yang telah dialami.

 Bersamaan dengan hal tersebut, perilaku kita masih banyak merendahkan orang lain dan menganggap gila atau bodoh seperti kaum Nabi Nuh. Atau, membangkang kebenaran yang disampaikan oleh orang lain dengan menganggap bahwa sesuatu apapun yang dilakukannya masih lebh baik dari apa yang dilakukan oleh pembawa kabar tersebut. Atau setidaknya makan dan minumnya juga sama, seperti yang dilakukan orang-orang pada zaman Nabi Hud. Bahkan, kita tidak sadar merasa golongan kita lebih baik dari golongan yang lain samap seperti yang dilakukan Fir'aun atas Nabi Musa dan Harun.

Andaikata, kita kena klithih kekuasaan, sudah pantaskah kita untuk memohon pertolongan karena kita telah didustai kekuasaan? Sudah pantaskah mereka dijauhi, atau kita yang justru lebih dulu sebenarnya dijauhi? Karena mereka juga menganggap kita tidak mengerti dan tidak mengerti bahwa kita tidak mengerti. Lalu, sebenarnya siapa yang jahilun murakkab? Kebenaran diri atau golongankah atau kekuasaan? Atau apa tolak ukur kebenaran sehngga kita merasa lebih memiliki hak untuk dibela oleh Tuhan?

Atau apakah klithih hanyalah salah satu ujian dalam menguji iman? Sedang apa yang dilakukan untuk menghadapi ujian tersebut bukan kesabaran menahan diri, melainkan malah merasa diri telah benar. Hingga akhirnya yang terjadi adalah saling mengolok-olok, kesimpangsiuran informasi, fenomena hoax, sedang kita sendiri tidak sadar telah hanyut dalam atmosfer mabuk zaman tersebut. Dan menjadi tontonan menarik dan menyenangkan bagi mereka yang menikmatinya.

Di antara mereka yang berebut kebenaran, ada yang selalu berdoa karena merasa dirinya adalah orang dholim. Ada yang benar-benar jauh dan melepaskan diri dari segala ikatan bukan karena keinginan diri, karena hal tersebut adalah bagian dari sesuatu yang diperjalankan. Ada yang selalu direndahkan dan diolok-olok di depan banyak orang, tapi tidak pernah sekalipun membalasnya justru mengasihinya.

Sekali lagi, kita masih berada di jalur yang sama terlebih jika diberi kesempatan dan kekuasaan. Bisa-bisa kita lebih diktator dan tidak hanya membatasi media, namun memblokir total segala aksesnya kecuali membuat media buatan sendiri. Kita tidak pernah mengetahui masa depan, karena bisa saja kita yang saat ini merasa telah beriman, justru ketika waktunya dijemput Malaikat Israfil sedang dalam keadaan lalai dalam mengingat Tuhan.

Sedang dalam setiap perbedaan, terselip mereka yang selalu memohon, "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkau adalah Pemberi rahmat Yang Paling Baik." (23:109) Dan manakah yang berposisi, "Lalu kamu menjadikan mereka buah ejekan, sehingga (kesibukan) kamu mengejek mereka, menjadikan kamu lupa mengingat Aku, dan adalah kamu selalu mentertawakan mereka." (23:110) Tapi, bukankah kita saling ejek karena merasa paling benar?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun