Doa itu seolah telah sampai, menyampaikan harap untuk menegaskan batas. Malam silih berganti hanya menitikan tapak kerinduan tanpa pernah berganti hasrat. Memudarkan senyum yang membuai, menghunus tanah tandus hingga mengeluarkan peluh yang menyejukkan.
Kasih, sudah lama waktu ini terkikis hanya untuk mengenal diri. Antara cinta atau sebuah kenyamanan yang kau taburkan di belantara ketidakjelasan dunia. Mengenalkan kesejatian di antara berjuta fana keindahan, tatkala nafsu meski tertahan layaknya singa yang sedang kelaparan di tengah gurun.
Haruskah diri ini melantunkan perjalanan itu? Atau tetap bersabar terhadap waktu yang tak henti menyayat qalbu? Sedang engkaupun menanti disaat kehadiran hanya mengasah tatap, membisu tanpa sekalipun mengadu?
Kau sesatkan aku di ruangan yang penuh dengan sendau gurau. Kau bunuh aku, hingga kau hidupkan kembali dengan tipuan yang lebih memperdaya. Kau suruh aku menjaga cinta sekalipun kau tau akan banyak prasangka yang mencoba menjatuhkanku dengan hingar bingar keanggunanmu.
Namun, kenapa tak kau paksa aku menyapamu? Sementara kau tak pernah menghitung welas asihmu. Kau biarkan diri melamun dalam hening, sementara kau memperhatikan dalam keterasingan. Salahkah aku jika menuntut mesra?
Jauh atau dekat akhirnya sebatas ruang kehampaan. Untuk selalu dirajut menjadi makna yang terselip di timbunan sampah peradaban. Karena raga akan selalu terpisah meski jiwa saling dipertemukan. Lantas dimanakah kita akan bersatu dalam keabadian? Berjalan bersama di telaga asih tanpa khawatir dengan kehilangan.
Tahukah engkau jika kau bukanlah segalanya? Karena nantinya segalanya adalah tentang kita. Yang mungkin saja telah tertulis dalam kitab kehidupan. Dengan segala makna keindahan yang menjadi satu kesejatian, meski dilalui dengan beribu duka kesengsaraan. Kasih, bersabarlah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H