Malam ini adalah malam ke-29 Ramadhan, akan tetapi situasi kampung-kampung tak semeriah biasanya. Masjid yang sedari awal terdengar sayu-sayu suara bilal tarawih pun tak terdengar sama sekali selama Ramadhan ini. Begitupun dengan kemesraan setelahnya, yakni taddarus bersama.
Mungkin saja, hal tersebut masih dialami oleh masyarakat pedesaan yang merdeka dari pandemi Corona. Karena kepercayaan mereka akan sesuatu yang lebih kuat yang menjadi landasan kepercayaan diri mampu membentengi diri dari penyakit tersebut.Â
Berbeda dengan masyarakat perkotaan ataupun peralihan yang masih belum membebaskan diri dari belenggu informasi karena tidak terbiasa menahan diri akan derasnya arus informasi yang sangat mudah diakses melalui benteng gadget mereka.
Benteng yang jebol tersebut memaksa mereka untuk mengantisipasi segala kemungkinan dengan menanam sesuatu dengan harapan dapat meminimalisir rasa takut. Rasa takut itu berlipat ketika masalah ketahanan pangan merembet ke desas-desus merabaknya maling di beberapa daerah selama Ramadhan tahun ini.
Dan menjelang fitrah, mereka malah hanyut mengutuk dengan kata 'terserah'. Karena menjelang hari raya Idul Fitri, Para pemudik sebagian ingin tetap pulang kembali ke keluarganya masing-masing.Â
Mereka yang menggunakan idiom kata 'terserah' seolah justru mengutuk, bukan empati terhadap keberaniannya. Mereka justru lebih memilih kata terserah daripada menitip doa agar para pemudik tetap diberi keselamatan dan kesehatan.
Memutus mata rantai penyebaran virus sudah menjadi keniscayaan akibat dari kekalutan bangsa sendiri. Semua memiliki pegangan nilai sendiri yang menjadi benteng diri menghadapi kelembutan ujian, hukuman, atau rahmat Coronavirus selama Ramadhan. Berbagai fenomena yang menguak selalu asik untuk dinikmati karena tidak semua pegangan nilai itu bisa disamaratakan.
Yang hobi memasang stiker di rumah aja, namun nyatanya lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah ternyata banyak. Dan sebaliknya, yang suka pamer kegiatan di luar lumah, tapi hal tersebut sebenarnya merupakan ekspresi dirinya karena terlalu banyak mengabiskan waktu di rumah juga banyak.Â
Terus sekarang disaat waktu lebaran menjelang, ada kerumunan orang yang ingin membahagiakan keluarganya dengan pergi berbelanja malah dibilang terserah lagi.
 Gimana sih? Hidup itu apakah benar menurutmu atau golonganmu saja? Bahkan andaikata seluruh manusia menyatakan benar, tapi jika Tuhan juga sekali-kali membuat status dengan hashtag 'dunia terserah' misalnya, lalu manusia bisa apa?Â
Menyangkalnya, melakukan demonstrasi besar-besaran terhadap Tuhan? Bahkan Nabi Musa yang pernah sesekali mengadakan protes bersama dengan puluhan ribu orang saleh, nyatanya Tuhan masih enggan mengabulkannya.