Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perlombaan Mewarisi Bumi

20 Mei 2020   19:11 Diperbarui: 20 Mei 2020   19:09 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
unsplash/Aaron-Choi

Fenomena yang terjdi di masa-masa seperti ini adalah hilangnya kebijaksanaan. Orang-orang saling berunjuk kebenaran dengan atau tanpa identitas golongan yang disandangnya. 

Disaat mengharap meningkatkan kesejahteraan, justru datang suatu rahmat yang setidaknya menyadarkan atau mengingatkan setiap manusia bahwasanya keselamatan lebih utama daripada kesejahteraan. Meskipun 2 hal tersebut akan terlihat lebih baik jika mampu berjalan beriringan dan saling menguatkan.

Yang tragis bukanlah keadaan, namun manusia yang selalu merasa lebih bisa dan lebih mengetahui atas segala apa yang sedang dialami baik oleh dirinya ataupun dalam lingkup sebuah wilayah. 

Oleh sebab itu, disinilah ilmu memiliki peranan yang sangat vital jika penggunaannya tepat. Orang yang merasa sanggup atau merasa mengetahui pastilah orang yang merasa dirinya telah dibekali atau dipertemukan dengan cakupan ilmu. 

Hanya saja segumpal buih terlanjur dianggap sebagai samudera yang tak berbatas, ilmu yang sejatinya menundukkan dirinya, justru menegakkan keangkuhannya.

Mengapa angkuh? Karena mereka telah melempar kesalahannya kepada pihak yang tidak sependapat terhadap argumentasi yang telah dibangun. Mereka merasa mampu membuat keadaan yang lebih baik dengan terus merongrong para pejabat negara yang dirasa tidak memiliki ketegasan dan lebih berpihak kepada para penguasa. 

Kebenaran atas ilmu yang sering didiskusikan memerlukan tempat sampah yang bernama 'kesalahan'. Hingga akhirnya, mencari kambing hitam atau tumbal atas keadaan tak terasa telah menjadi kebiasaan. Karena kebenaran tidak bisa didapatkan jika tak ada bukti tentang sebuah kesalahan, bukan begitu?

Meskipun bukti itu pun hanya didasarkan asumsi atas apa yang pihak mereka lihat, tanpa dilalui dengan proses tabayyun atau mengambil sampel data dengan lebih mengulur waktu kembali ke belakang. 

Dengan harap cakrawala pandang akan semakin meluas, lebih mengekskalasi ketercerahan jiwa agar mampu bertransformasi menjadi ruang kepada siapapun dan menampung apapun saja. Bukti yang didasarkan pada asumsi atau ketidaktepatan data tidak akan mampu menjadi bukti yang nyata.

Kecuali hanya mengada-ada dengan mengambil sebagian sampel, tidak secara menyeluruh. Dan kebetulan, prasangka kebenaran yang telah dimiliki, membutuhkan penguat argumen dengan mencari sebuah kesalahan. 

Sekalipun, hal itu merupakan sebuah bukti yang diada-adakan, selalu ada Yang Maha Mengetahui apa yang disembunyikan di dalam diri mereka dan dari apa yang mereka nyatakan, dengan mengatasnamakan kebenaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun