Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Isolasi Kuadrat Para Ghuraba

1 April 2020   16:30 Diperbarui: 1 April 2020   16:40 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terasing sudah menjadi kebiasaan bagi sebagian orang. Entah itu atas cara pandang atau alur berpikirnya yang berbeda dengan mayoritas umum atau karena memang karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuatnya.

Adat dan budaya manusia memang berbeda-beda di setiap wilayah. Bahkan Antara kota dan pedesaan yang sejatinya berdampingan, selalu ada sekat budaya yang membedakan antara 2 wilayah tersebut. Sehingga batas-batas perlu dipugar atau dibuatkan gapura yang besar hingga menunjukkan kejelasan batas antara 2 sisi yang berbeda.

Bagi yang sudah biasa terasing, perbedaan-perbedaan yang dibangun tersebut terkesan sama. Dimanapun, kapanpun, selama ia diperjalankan menuju ke suatu tempat. Itu adalah rumah baginya. 

Meski sedang terisolasi, perjalanan seolah-olah selalu memanggilnya untuk bermesraan dengan semesta raya ataupun sebuah kemesraan yang menantinya yang mewujud dalam sebuah pertemuan.

Orang-orang yang terisolasi tersebut tidak terikat dengan waktu, mereka sudah biasa berjalan di dalam gelap. Mereka terbiasa mencari cahaya di dalam waktu yang baik untuk terlelap. Mereka berjalan melampiaskan rindu tanpa pernah ragu.

Jalan pikirannya sudah biasa dibantah karena selalu bertentangan dengan kesepakatan umum. Cara pandangnya selalu dimentahkan karena terlalu banyak melibatkan Tuhan dengan kacamata yang dipakainya. Sedangkan mereka berlomba-lomba untuk menantang Tuhan berkompetisi untuk menemukan kebenaran.

Beruntung jika hanya terasing, bagaimana dengan mereka yang terusir? Atau bahkan diusir? Karena tidak menyepakati kesepakatan mayoritas, sedangkan dirinya tidak menentang hanya tidak menyapakati. 

Atau lebih sialnya, ketika mesti terusir karena jawaban yang diberikan tidak sesuai dengan keinginan si pemberi pertanyaan, sedang si penanya tersebut memiliki kuasa untuk mengusir.

Alhasil, banyak yang meski menelan ludahnya sendiri. Banyak yang berkhianat kepada keimanannya sendiri karena keadaan-keadaan yang tidak memungkinkan untuk mempertahankan keteguhannya. Banyak yang tidak sesuai dengan kata-kata yang diucapkannya karena takut akan keterasingan atau apapun itu yang membuat dirinya tidak diakui.

Mengapa kita mesti mengambil jalan seperti itu? Terlebih kedewasaan manusia tumbuh di zaman yang penuh dengan tantangan, serba terbalik cara berfikirnya, bahkan menomorduakan Tuhan daripada ilmu akalnya. 

Sedang diri tak memiliki tameng yang cukup untuk mempertahankan dari bisikan-bisikan nafsu sampai kemuliaan (satu-satunya kepastian dalam hidup) itu datang, kecuali dengan mengandalkan pertolonganNya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun