Hari semakin bertambah sore ketika para penulis ini sedang mengejar deadline yang diberikan. Setelah menonton video yang hanya berdurasi 15 menit, lalu para penulis langsung digenjot dengan 2 tugas (reportase dan storytelling)  yang mesti diselesaikan dengan tenggat waktu 45 menit. Puluhan orang mendadak menjadi serius menatap layar canggih masing-masing yang sudah dibawa.
Pemandangan ini mungkin akan sangat jarang sekali dialami oleh para peserta yang sedang belajar menulis. Bisa menulis bersama-sama seperti ini dengan kawan-kawan yang memiliki minat di bidang yang sama tentu membawa kegembiraan tersendiri dan berkesan. Karena sudah menjadi kebiasaan tatkala sudah menjadi penulis dengan, dan sedang keadaan menulis lebih sering dikerjakan dengan sendiri atau menepi. Bahkan, ketika menulis di tengah keramaian pun, seolah pandangan hanya tertuju pada apa yang akan ditulis.
Tenggat waktu sudah selesai, tetapi sepertinya tidak semua penulis mampu memenuhi target. Extra time pun diberikan untuk menyelesaikan tugasnya karena nanti akan langsung di-review oleh tim redaksi yang sudah berpengalaman. Juga untuk memberikan gambaran kepada para penulis, kira-kira beginilah situasi ketika dikejar oleh deadline. Setidaknya, masing-masing penulis yang hadir diharapkan nantinya mampu merefleksi kedalam dirinya untuk menambah pengalaman dan kedisiplinan tentunya.
Setelah rehat sejenak usai mngerjakan tugas, kami beruntung kedatangan para maestro sastra diantaranya Iman Budhi Santoso, Budi Sarjono, dan Emha Ainun Nadjib yang ikut bergabung bersama kami untuk memberikan petuah-petuahnya. Dimana para maestro ini juga sedang berjuang menghidupkan kembali literasi di media cetak, dengan menghadirkan kembali Majalah Sabana.
Menulis itu sendiri adalah mengenai cara pandang si pewarta. Terminologi jarak pandang, sisi pandang, ataupun tujuan pandang merupakan seperangkat alat untuk memudahkan menulis sesuatu. Bahkan, ketika menulis sebuah kabar yang selalu terkait dengan "5W1H", hal tersebut merupakan suatu bentuk rangkaian dan harus komprehensif.
Mbah Nun memberikan contoh tentang 'hadits'. Menurut beliau, hadits-hadits itu tergantung kepada siapa perawinya. Bagaimana kondisi ketika hadits itu tertulis sampai ke kebutuhannya. Berapakah rentang jarak dan waktu antara hadits itu dipetuahkan dengan menuliskan hadits tersebut.Â
Kita dituntut untuk lebih dapat menggambarkan suasana yang berhubungan dengan sebab-akibatnya. Karena dalam menulis apapun, itu sangat tergantung kepada bekal penulis menemukan sesuatunya.
Kemudian Pak Budi memberikan innovasi dengan menambahkan "2i", yaitu intuisi dan imajinasi. Terutama ketika mesti menggambarkan suasana, agar rasa kepenulisan tidak monoton. Meskipun, hal tersebut juga tidak bisa lepas dari kebutuhan dan selera Si Pembaca. Tapi, menulis itu menurut Mbah Nun produknya harus sama, yaitu menambah kedekatan dengan Tuhan.
"Ora mungkin wong moco Qur'an sakmanane, tapi ora sholat (tidak mungkin orang membaca Al-Qur'an sekaligus maknanya, tapi tidak sholat)." Lanjut beliau. Karena jika berhubungan dengan pemahaman maupun pemaknaan, nanti akan tergantung kepada server 'si tidak pembawa berita' atau pembaca. Mbah Nun juga menambahkan bahwa penulis mesti membiasakan membaca 'apa yang tidak tertulis'.
Beberapa penulis diberikan kesempatan untuk bertanya kepada para sesepuh. Ada salah satu yang menarik ketika penanya mengungkapkan bahwa bayangan dalam menuliskan sesuatu mungkin jika diaplikasikan akan butuh banyak halaman untuk menuangkan pemikiran. Akan tetapi, nyatanya baru sampai setengah halaman menulis sudah macet. Lantas penulis itu bertanya, "Bagaimana cara memperkaya kosakata?" Berikutnya, keterkaitan dengan intuisi dan imajinasi, "Bagaimana cara menghadirkan emosi dalam menulis?"
Jawaban datang dari Mbah Nun, beliau menceritakan pengalamannya dalam menulis menggunakan mesin tik. Menurut beliau, memang dalam menulis selalu timbul pemikiran-pemikiran baru.Â