Sehingga, keinginan untuk mencari pun terkubur oleh ketakutan-ketakutan bersifat eksistensial yang mencengkeram niat untuk bertanya kepada rindu yang tak pernah tuntas.
Manusia terlanjur berguru kepada sanad tanpa mau belajar terlebih dahulu mengenali cinta. Siapa bilang manusia makhluk sosial? Kecuali tatkala manusia itu mempunyai kepentingan terhadap manusia lain agar tercukupi kebutuhan atau keinginannya.
Manusia berguru pada pengetahuan tanpa mengetahui cara menerapkannya di kehidupan sehari-hari. Yang penting gelar di atas kertas didapatkan, lantas bisa digunakan sebagai prasyarat mendaftarkan diri sebagai pegawai.Â
Tentu saja, mereka mencari kertas hanya sebatas agar dapat menentukan standarisasi gaji/upah yang akan didapatkan.
Terlebih, manusia berguru kepada para alim 'ulama agar meningkatkan iman dan juga takwa. Aih, pada akhir zaman juga pada akhirnya manusia secara otomatis juga berbondong-bondong kembali memeluk agama, tapi agama itu datang dalam keadaan terasing, begitu pun saat kembali. Pertanyaannya, mengapa ketika mereka secara masif kembali percaya kepada Tuhan, namun keadaannya justru menjadi terasing?
Setiap manusia adalah tokoh utama yang berguru kepada Guru yang sejati. Untuk bersama-sama menyatu dalam kebahagiaan. Tapi, sanad mereka tidak mengajarkan kepada kebersamaan itu, sanad guru mereka tidak mengajarkan cinta.Â
Hanya keuntungan-keuntungan dalam beribadah dan keimanan. Tidak mengajarkan kebahagiaan justru suka memberikan ketakutan bahkan kutukan jika tidak sejalan dengan pemikiran sanad gurunya.
Hati-hati, Jangan-jangan kamu memanfaatkan gurumu demi keamanan dan keuntungan diri sendiri. Lalu, siapa Gurumu itu?