Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Teko Loosssss..... #1

19 November 2019   16:17 Diperbarui: 19 November 2019   16:19 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mas Aji (Dok. @WisnuHerjuna)

Suara-suara empati simpang siur silih berganti seiring dengan gelombang kedatangan jamaah malam ini. Saling menanyakan kondisi seorang guru, bapak, ataupun mbah yang telah begitu banyak mencurahkan ilmu dan kasih sayangnya kepada para pejalan maiyah. Rona rasa rindu yang biasanya timbul untuk sekedar menatap atau mendengarkan, seolah malam ini telah berubah menjadi keinginan untuk merapalkan do'a bersama.

Ya, setidak-tidaknya bagi para pejalan maiyah, hanya ini satu-satunya aktualisasi mengungkapkan rasa rindu pada temaram itu. Keikhlasan untuk tetep hadir mencari ilmu meskipun mengetahui ketidakhadiran Mbah Nun, menjadi bukti cinta yang nampak begitu merekah di dalam Huma, Mocopat Syafaat. Dan, ketika melihat banyaknya keikhlasan rindu yang menyapa, serasa sangat cukup untuk menyingkirkan kepalsuan-kepalsuan rindu yang lain.

Saya rasa, nominal pun kurang tepat jika diharuskan menjadi tolak ukur rindu yang tak nampak. Mungkin, jika kita bisa dapat melihat kejujuran rasa, satu ketulusan rasa rindu terasa cukup dibandingkan beribu rasa rindu yang tak lebih dari sebatas lisan. Atau semacam kepalsuan.

Ruang bergumam mengikuti suara tadarus ayat suci yang dibacakan oleh Mas Ramli. Terhitung wajah-wajah yang serius mengikuti, tak seperti biasanya. Seperti ada curahan yang ingin sekali diungkapkan, entah itu derita atau bahagia? Karena sangat mungkin sebuah derita bersembunyi dalam tawa dan bahagia justru tercurah melalui tetesan air mata.

Mas Angga, Mas Aji, Mas Fauzi, dan Mas Heri (kiri-kanan) - dok. Mocopat Syafaat
Mas Angga, Mas Aji, Mas Fauzi, dan Mas Heri (kiri-kanan) - dok. Mocopat Syafaat
Setelah selesai tadarus, acara dibuka oleh para beberapa penggiat diantaranya ada Mas Fauzi, Mas Heri, Mas Angga, dan Mas Aji. Prolog pun disajikan dengan mencoba lebih mendalami tentang 2 tajuk yang belum lama ini ditulis oleh Mbah Nun, yaitu "Menderita karena Maiyah" dan "Siaga Kapak dan Tongkat".

Ketika pembacaan tajuk telah selesai, pertanyaan yang muncul adalah "Awake dewe iki tenanan arep dadi maiyah ora? (diri kita ini beneran mau jadi maiyah tidak?)" ungkap Mas Fauzi. Banyak sekali resiko yang telah dipaparkan dalam tajuk pertama. Yang pasti resiko utama adalah menjadi kaum ghuraba/terasing baik itu dari masyarakatnya, sahabatnya, bahkan keluarganya. Kehilangan pekerjaan ataupun yang terlempar dari perjalanan karirnya. Dan lagi menjadi sangat terbatas kesejahteraan dan kehilangan nikmat dunianya.

Oleh karena itu, pada kalimat terlakhir tajuk pertama ini, Mbah Nun menulis bahwa berhentilah ber-Maiyah kalau itu membuatmu sengsara dan kesepian! Kalimat ini adalah penawaran, bukan perintah.  Seperti lontaran pertanyaan yang disampaikan oleh Mas Fauzi, karena semua pejalan maiyah hampir mayoritas pasti dihadapkan dengan situasi keterasingan.Jika memang dirasa telah siap, kita mesti "Siaga Kapak dan Tongkat".

Lalu, "sakjane sing dikapaki atau ditongkati iku opo?" kembali moderator mencoba mengajak jamaah yang hadir untuk berfikir kembali. Kapak pada zaman Nabi Ibrahim dipakai untuk menebas berhala-berhala yang disembah oleh Namrud. Tapi, kapak pada zaman ini lebih disiapkan untuk menghancurkan berhala globalisasi (menikmati arus hubbud dunya) kapan saja Allah menurunkan amr-Nya, tanpa harus menggulingkan Namrud.

Kemudian menunggu perintah idhrib bi'ashokal bahr. "Pukullah laut dengan tongkatmu!" Tapi lautan itu sekarang nampak seperti apa di zaman ini? Kejujuran atau kemunafikan? Khoir atau sayyi'? Haq atau bathil? Kehinaan atau kemuliaan? Karena semua itu telah tercampur-aduk. Kita mesti menyiapkan tongkat untuk memisahkan hal-hal yang mulai samar sekarang ini.

Mas Aji (Dok. @WisnuHerjuna)
Mas Aji (Dok. @WisnuHerjuna)
Setelah beberapa waktu mendalami materi, beberapa jamaah dipersilahkan untuk berbagi cerita tentang penderitaan yang mungkin telah mereka alami, terutama setelah mengalami maiyah. Ada seorang koki dari Cilacap yang telah bekerja di Jogja dari tahun 2011 bercerita, gara-gara kenal maiyah, ia menjadi tidak bisa mengambil banyak makanan seperti sebelum mengenal maiyah. Ada pula seorang santri yang seperti merasa diasingkan, namun menemukan kerinduannya dengan berusaha menjadi hafidz Qur'an, dan masih banyak lagi.

Salah satu jamaah yang naik panggung bercerita justru bisa menafsirkan bahwa menderita merupakan sebuah keputusasaan. Terlebih menderita ini dalam konteks berhubungan dengan yang bukan muhrim. "Teko Looosssss...." menjadi teriakan-teriakan suporter dari jamaah yang terdengar seperti sebuah sulap. Mengubah derita menjadi bahagia, yang merenung menjadi tertawa. "Iya Mbah, 'saya bahagia Loosss ketika berada di Maiyah'." (Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun