Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Di Atas Tanah Hijau Ketidakpastian

29 Oktober 2019   16:05 Diperbarui: 29 Oktober 2019   16:38 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mangli, Gunung Sumbing

Semua permasalahan tidak akan mempengaruhi percepatan waktu, siang dan malam akan selalu silih berganti menjalankan perannya. Begitupun waktu yang terus melaju tidak akan mempengaruhi rasa yang telah tertanam ataupun tenggelam. Lalu apa ada yang mampu mengintervensi rasa? Apakah benar jika rasa itu tercipta atas dasar selera atau karena kebiasaan saja?

Jelas akan banyak faktor, baik tendensi ataupun urgensi yang menciptakan rasa jika dinalar pakai akal manusia. Namun, akal manusia hanya mampu menjangkau dan mengidentifikasi atas apa yang telah terjadi menurut kebiasaan-kebiasaan pada umumnya, yang biasanya telah terdokumentasi rapi di dalam tulisan dan biasa disebut sebagai buku pengetahuan.

Apakah kehadiran buku-buku hanya sekedar untuk mengantisipasi, meminimalisir, ataupun memberikan solusi atas segala masalah? Menuntun jalan keluar atas mereka yang merasa terjebak. Menambah keluasan kacamata pandang atas mereka yang selama ini seakan hanya memakai kacamata kuda. Menambah ketulusan asih atas mereka yang terbutakan oleh cinta wadag. Bahkan tak jarang mengenalkan ke-absurd-an atau keniscayaan daripada bertemu sapa dengan realita kenyataan.

Semua jawaban adalah ketidakpastian sekalipun itu sangat bersifat solutif yang membenarkan bahkan menyelamatkan. Namun itu kan bersifat subjektif, tidak bisa digeneralisasikan, yang berarti belum pasti. Apakah ada kepastian di atas tanah hijau ketidakpastian? Lantas, mengapa kamu mencari kebahagiaan jika itu belum pasti. 

Mengapa engkau cari cinta? Jika cinta tak melulu butuh pembalasan bahkan secerca harap. Mengapa engkau cari kekuasaan? Jika itu tidak bisa membawamu dalam keabadiaan. Bahkan segala pengetahuan yang tertuliskan dalam milyaran kata-kata adakah yang bisa mengantarkanmu ke kebenaran yang sejati? Karena pada akhirnya kata-kata itu akan hilang bersama dengan ilmu-ilmu yang telah singgah.

Ketika kita berlagak seolah telah mengenal Sang Pencipta, lalu mencoba meyakini bahwa segala harapan telah disandarkan kepadanya, apakah itu akan membuatmu semakin nyaman? Lagi-lagi jawabannya adalah belum pasti! Dan tergantung siapa pelaku yang sikap mulianya telah berikhtiar dengan segala tantangan perjalanan hidupnya. Disaat kita mengangankan hal tersebut dengan bungkus keimanan, namun nyatanya akhlak seringkali berlari membelakangi apa yang mereka imani.

Dan kita menyangka, akhlak yang mewujud telah sejalan dengan iman yang sudah terpegang erat. Enggan mengerami sunyi, lantas melemparkan diri untuk turut eksis ke dalam kerumunan semu. Perhatian yang selalu tercurahkan tanpa keimanan yang dipegangnya, terasa hambar sehingga ia berusaha mengais perhatian-perhatian yang tercecer di antara debu-debu tanah hijau tersebut.

Syariat hanya menjadi kosmetik untuk merias diri dan menarik pahala, tarekat diumbar laksana dirinya-lah yang telah melakukan usaha lebih dibanding lainnya. Hakikat pun tak lebih sebatas pemanis pembicaraan, maka nampaklah cahaya temaram yang disangkanya (terang) adalah buah makrifat. Oleh karena itu, kedaulatan berfikir disini memiliki peran yang sangat penting. Karena pikiran ibarat pintu sebelum segala penglihatan atau pengetahuan diolah di dalam hati. Masakan yang terwujud dalam akhlak tentu akan sangat bergantung pada segala proses tersebut.

Segala kitab gubahan manusia merupakan alat bantu untuk memaknai satu-satunya kitab suci. Berbagai metode pembelajaran akhirnya mencuat hingga membentuk sekte yang berbeda-beda. Perselisihan pun akhirnya tersulut akibat dari banyaknya sekte-sekte yang terbentuk. 

Tahukah darimana akar permasalahan tersebut muncul? Semua berawal dari ketidakmampuan atau masih terbatasnya alam pikiran kita untuk menerima segala perbedaan yang ada, terlebih atas ketidaknyamanan yang diterima.

Pada saat kita hidup di dunia ketidakpastian atau fana', yang penuh dengan kepalsuan dan sandiwara karena ketidakpastian itu hanyalah salah satu bentuk dari sendau gurau panggung kehidupan, kita mesti berusaha menyucikan jiwa dari segala penyakit hati, iri, dengki, benci, ataupun curang. Segala keadaan dualitas akan menjadi arena pembelajaran yang sangat luar biasa. Mulai dari benar-salah, kaya-miskin, kuat-lemah, pintar-bodoh, dsb. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun