Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perselisihan yang Dibenarkan?

1 Oktober 2019   16:26 Diperbarui: 1 Oktober 2019   16:45 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahkan, asma Allah pun dikumandangkan sebagai dasar atas pembelaan ideologi sebagian kaum atas penindasan dan ketidakadilan. "Allahu Akbar!" Ucap seorang berkoko lengkap dengan sarung dan kopiahnya sembari melembarkan batu ke arah barikade keamanan.

Tidak ada rumusannya dirimu melempar batu (sebelum terluka) atas nama kesucian, melainkan secuil kebencian. Hal yang dibenarkan melempar batu adalah ketika kamu sedang lempar jumroh di Mina, bukan di kerumunan itu. 

Hal yang paling tidak masuk akal adalah mengira bahwa Tuhan mendukung perselisihan dengan melempar batu ke para oknum yang memang memiliki tugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Apa gunanya jika kalian saling benci jika hal tersebut justru mendatangkan hal yang paling dibenci oleh Yang Maha ataupun kekasihNya, yaitu memutus sebuah ikatan tali persaudaraan.

Kalian memutuskan menjadi pejuang demokrasi, namun lupa akan kemerdekaan diri sendiri. Atau justru, karena kamu sendiri tidak dapat memperjuangkan diri, sehingga kamu memutuskan memperjuangkan demokrasi. Mumpung banyak temennya. Kalau perlu, besok rukun iman ditambah jangan hanya 6. Kalau bisa 7 atau digenapkan menjadi 10 sekalian. Iman kepada uang, kekuasaan, ideologi, atau apa yang lain yang bisa menggerakkan hati atau membelokkan niat.

Apakah "lawan" menjadi jalan akhir? Apakah sudah begitu buntunya hidup kita, terperasnya keringat tak sebanding dengan upah yang seberapa? Jika ingin hidup di negeri yang nyaman, lepaskanlah segala kepentingan yang membuat tak nyaman. Buanglah pandangan kehormataan, dan hiduplah penuh dengan kehinaan.

Jebaklah prasangka-prasangka para penguasa terhadap kita. Tunjukkan bahwa mental kita bukan mental nyinyir dan cengeng menuntut keadilan pada birokrasi yang kotor. Lagian mengapa kita mesti terusik oleh kata-kata? Oleh kepentingan-kepentingan mereka? Atau kamu terusik karena terganggu rasa nyamanmu? Keadilanmu? Tiba-tiba menjadi ektsrimis perubahan perjuangan karena nasib. Terlebih menyalahkan pemerintah atas nasib pribadi.

Masalah bukan terletak pada hukum, tapi keinginan-keinginan kita sendiri. Toh, hukum hanya sebuah permainan bagi para penguasa. Salah siapa bergantung dengan hukum manusia? Ada razia motor aja bingung, gitu masih aja nuntut demokrasi. Kalian sudah terbiasa bahkan pintar mengindari/ngakali hukum. Tapi sekarang kenapa jadi heboh?

Daripada menjagorkan LAWAN, alangkah baiknya mempersiapkan diri kita masing-masing agar kelak siap untuk mengemban amanat menjadi orang tua, ketua, pemimpin, guru, atau tokoh masyarakat. Jangan pernah benci manusianya, tapi belajarlah dari sikap kekonyolannya. Jangan sampai menjadi seseorang yang menelan ludahnya sendiri kelak. Karena kebenaran kita sangatlah fundamental nan fluktuatif.

Tapi, setidaknya kita bisa melihat fenomena mental era netizen. Antara mental nyinyir dan pengadu-domba, hingga para pelanggan hoax.  Pelanggan hoax mampu menumbukan cabang hingga semakin merajalela isu/konten yang menyebabkan perselisihan karena memang sangat begitu efektif? Hingga hoax bisa menjadi sebuah penghidupan, bahkan merubah kehidupan.

Indonesia toh di tempatku aman, yang cemas dengan keadaan hanya mereka yang berkepentingan. Yang cemas hanya mereka yang merasa dirinya tidak begitu mendapatkan jatah, atau takut kehilangan. Apapun bentuknya. Biarlah dianggap bodoh karena tidak memiliki cita-cita atau tendensi kepentingan demi tujuan (yang dianggap) baik. Yang terpenting kamu selalu mengajarkan cinta dan asih kepada semesta.

Biarkan negara dikuasai oleh mereka-mereka yang ingin berkuasa. Tunjukkan kepada negara, bahwa salah satu syarat terbentuknya suatu negara adalah rakyat. Rakyat lebih besar dari negara. Indonesia ada karena rakyat yang begitu sabar dipermainkan oleh para elit politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun