Namun, balasan singkat itu seperti mengukuhkan niat Tama, setidaknya untuk mengungkapkan apa yang telah dirasakannya. Toh, umur mereka juga kian beranjak dewasa. Ya, sebagai seorang lelaki, pernyataan ini mungkin bisa menjadi sebuah bentuk pertanggungjawaban atas rasa yang tak pernah bisa dicipta atau dipaksakan.
Di suatu pagi yang cerah, Tama dan Layla sedang menikmati es kelapa muda. Menikmati belaian angin yang berangsur mengusap keringat mereka berdua. Bercanda dan tertawa menafsirkan semesta yang memberikan keteduhan itu.
"Laa, salahkah kalau aku memiliki rasa yang sering mereka sebut cinta?" tiba-tiba Tama menyela.
..............................................
***
(Di rumah Layla)
Sesampainya di rumah, Layla pun tak bisa begitu saja menghilangkan makna dari pertemuannya kembali dengan tama. Bahkan, malam demi malam yang telah dilalui justru semakin menambah rasa penyesalan atas sikap yang telah dilakukannya kepada Tama waktu itu. Pertemuan yang membukakan pintu kenangan yang telah lama Layla tutup rapat-rapat.
Layla merasa hal tersebut hanyalah rasa bersalahnya yang berubah menjadi rasa iba. Atau mungkin kedekatannya waktu itu tak lebih hanya sebatas rasa ibanya kepada Tama atas perjuangannya yan telah dilakukan. Dan sebuah kekaguman atas pengalaman yang oleh Tama selalu dijadikan ruang pembelajarannya untuk berani mendobrak!
"Tak ada yang salah dengan keputusanku!"
"Pertemuan tadi pun hanya kebetulan."
Kedewasaan serta kemandirian menjadikan Layla semakin pintar melakukan pembenaran atas tindakannya. Meskipun, sekarang pintu itu telah terbuka kembali. Tama seolah selalu berbisik luruh menuntun, disaat Layla dengan kedewasaannya seolah tak mendengar pesan-pesan itu. Terkadang, Tama menyalakan cahaya remang Layla. Tapi, Layla meredupkannya dengan keinginan yang lain.Â