Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Untung Saja Indonesia Berkesempatan Memiliki Banyak Masalah!"

16 Agustus 2019   15:53 Diperbarui: 16 Agustus 2019   17:44 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Calon Pemimpin Masa Depan. Sumber: einaudi.cornell.edu

Dengan begitu banyaknya para cendekiawan/wati di negeri ini, tidak pernah permasalahan itu berhenti atau berkurang. Justru semakin bertambah dengan kompleksitas permasalahan yang semakin berbelit-belit. Para cendekia itu tampil dengan membawa kebenarannya untuk memberikan solusi atau jawaban atas segala permasalahan yang muncul.

Dengan era digitalisasi yang mempermudah akses untuk mendapatkan sebuah informasi, justru semakin menguak kebobrokan yang telah terendap selama bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun. Mereka yang mendapatkan keuntungan dari segala 'masalah' itu berusaha memupuk segala akses informasi, sedangkan mereka yang haus akan keadilan, mereka menjadi oposisi yang sebisa mungkin harus segera dibatasi ruang geraknya.

Asyik! Peperangan antara yang merasa benar tidak akan pernah terhenti. Baik mengatasnakamakan pembangunan, keadilan, kesejahteraan, HAM, kemajuan, dsb. Pelajaran ekonomi dasar selalu mengajarkan jika kebutuhan manusia tidak pernah puas. Dan terus berputar, ketika satu masalah dapat teratasi, pasti akan muncul masalah yang lain dengan proporsi kebutuhan yang berbeda. Dengan bumbu sifat egosentris yang pasti ada demi sebuah kenyamanan atau rasa aman bagi dirinya sendiri khusunya.

"Kamu merasa kalau Inonesia mulai kehilangan jati dirinya gak?"

"Emmm, biasa aja koq. Tidak mesti juga."

"Kamu gimana sih! Sekali-kali coba update berita." Sembari menyodorkan sebuah laman website salah satu media surat kabar elektronik.

"Terus maumu gimana?"

"Gak peduli banget sih sama negara sendiri!"

"Simbah kan pernah dhawuh, kemana-mana mereka menebar api tapi engkau takut akan kebakaran, mereka suka provokasi tapi tak suka dengan keributan, yang satu menyiapkan kebenaran tetapi yang lain sibuk dengan kepentingan."

" . . . . . ." (Bengong)

"Yang satu mengusulkan kemuliaan tapi yang lain justru mabuk kekonyolan, yang satu mengelus-elus kebaikan akan tetapi yang lain memborong kerendahan, yang satu memperhitungkan keselamatan yang lain pesta pora fantasi, kalau yang satu mempelajari pencahayaan lantas yang lain terbang di kegelapan. Dan jika kemana-mana engkau menolak ilmu yang sejati maka kenapa kamu marah dengan pembunuhan ataupun kemusnahan?" katanya sembari mengingat apa yang dipesankan oleh Simbah.

"Aku gak marah, hanya saja sayang jika mesti kehilangan diri seperti ini."

"Lha kamu maunya gimana? Bukannya tak ada yang aneh jika yang ada hanya perselisihan dan kemusnahan."

"Ya kita sebagai yang muda seharusnya bisa memberikan solusi jika mengetahui keadaan yang seperti itu, kan?"

"Solusi yang seperti apa yang kamu inginkan?"

"Setidaknya biar negeri kita selamat!"

"Selamat itu seperti apa dan bagaimana keadaan hingga bisa dikatakan selamat?"

"Aman, damai, tenteram, dan rakyatnya sejahtera."

"Sejahtera itu yang seperti apa?"

"Setidaknya tidak akan ada orang kelaparan dan mengentaskan kemiskinan!"

"Kemiskinan! Tidak mesti juga, mungkin hanya di Negeri ini masyarakat yang kamu anggap miskin itu bisa sangat mudah mencari kebahagiaan. Bagaimana dengan allahumma ahyinii miskiinan, wa amitni miskiinan, wahsyurnii fii jumratil masaakiin."

Meski banyak para ulama yang menafsirkan kata miskin dengan sikap ketawadhu'an dan selalu dihubung-hubungkan dengan perintah mengeluarkan zakat jadi sebisa mungkin pandangan tentang kemiskinan dihilangkan atau diganti dengan ketawadhu'an. Tapi jika merujuk pada buku yang ditulis oleh Syaikh Abdul Qadir Al-Jaelany, justru beliau memandang kemiskinan sebagai suatu batu permata. Apalagi sanggup berkata seperti do'a yang dipanjatkan Rasulullah tadi. Mereka yang eman terhadap harta bendanya dan keduniawiaannya, pujian ataupun masih butuh pengakuan. Mana mungkin mau empati terhadap rasa kemiskinan?

Memang kalau hanya dipandang sebatas mata wadag, tidak ada yang enak sama sekali dengan keadaan tersebut. Tapi, meskipun mereka selalu berusaha kesana-kemari mencari rizki tetap saja hasilnya tak sesuai yang hanya duduk di depan komputer mempermainkan kata-kata atau angka-angka yang tak sekalipun kelihatan wujud aslinya. Berarti ada yang salah dengan pandangan mengenai rizki, harta atau yang semacamnya.

Bahkan untuk berzakat pun, hanya dikhusukan bagi yang mampu. Mampu itu juga sangat luas maknanya. Apalagi zakat atau sedekah. Meskipun tidak memiliki apa-apapun sama sekali, jika kita memberikan senyuman kebahagiaan yang tulus dan ikhlas, itu juga bisa dikatan sedekah. Lalu kenapa mereka sangat sombong dengan kemiskinan. Tanpa kemiskinan, mustahil ada kekayaan. "Jadi lebih beruntung mana antara yang diberi peran sebagai orang miskin atau orang kaya? Bukankah seseorang tidak bakal diuji melebihi kapasitasnya?" lanjutnya.

"Emm, tapi dengan kekayaan kita bisa memakmuran negara ini."

"Lha negeri kita ini sudah sangat kaya, tapi lihat. Hanya mereka yang berkepentingan yang hanya mendapatkan bagian. Udah gitu, udah disuruh bayar pajak lagi buat mereka-meraka dengan mengatasnamakan pembangunan. Kurang baik hati gimana lagi coba masyarakat kita?"

"Tapi, kita juga mesti tahu diri. Salah seorang istri Rasul juga pernah mendoakan hal serupa seperti apa yang kamu utarakan. Sesuatu yang berujung pada kesenangan. Lantas Rasulullah langsung memberi nasihat setelahnya, daripada kamu meminta sebuah kesenangan yang Allah sudah menggariskannya, lebih baik kalau kamu meminta keselamatan. dan keselamatan itu tidak melulu berbentuk kebahagiaan. Dari kemiskinan bahkan sampai sebuah kematian pun jika kamu memiliki kebijaksanaan berfikir. Hal-hal yang berkonotasi negatif tersebut akan mampu dimaknai dengan sebuah keselamatan. Bukannya tiada daya ataupun kekuatan yang terjadi di dunia ini tanpa ijinNya?"

"Berarti Indonesia seperti ini juga karena ijinNya?"

"Kita seharusnya merasa beruntung dan berterimakasih atas segala kompleksitas permasalahan yang melanda negeri ini. Tidak semuanya dapat memiliki pengalaman belajar seperti ini.  Tidak semua negara masih mampu bertahan seperti negeri ini dengan masalah-masalah yang datang silih berganti. Bahkan negara-negara notabene sangat memegang nilai Islam pun porak poranda oleh bisikan-bisikan kepentingan perpolitikan."

"Tapi, kan... ."

Dengan momentum tirakatan yang pasti akan banyak dilaksanakan di berbagai tempat nanti malam, selain kebahagiaan dan kebersamaan. Apakah ada yang berani merekonstruksi ulang cara berpikir tentang negara yang amat teramat sangat berlimpah naungan rahmat, barokah, pun kasih sayangNya?

Akan ada masa-masa itu datang. Dimana generasi tersebut sangat mencintaiNya, begitupun sebaliknya. Mereka tidak akan menjadi besar atau menampak-nampakkan diri dengan segala kebenarannya kecuali memang atas pertolonganNya.

"Jadi daripada ngurusin kesemrawutan yang memang seharusnya seperti itu karena banyaknya mereka yang berkepentingan, kenapa tidak kau mulai perubahan itu dari dirimu sendiri atau lingkunganmu?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun