Ternyata poster yang ditampilkan secara beda putaran Agustus, sedikit memberikan dampak pada tingkat kehadiran para JM pada malam hari itu. Foto Mba Nafisatul Wakhidah, perempuan asal Srumbung, Magelang yang kebetulan sedang pulang ke desa dari perantauannya di Baden Wrttemberg, Jerman, sanggup menarik para peminat sinau bareng di Omah Maneges menjadi lebih banyak. Meskipun, banyak atau sedikit JM yang hadir insyaAllah tidak akan mempengaruhi jadwal dan cara nyuguh tamu para penggiat kepada para JM sinau bareng.
Dan setelah beberapa tahun absen di acara MQ, ternyata jiwa penggiat masih begitu melekat di hati Mba Nafis. Tak terpengaruh dengan perannya sebagai narasumber, Mba Nafis tetap datang lebih awal untuk membantu nggelar kloso. Pertama-tama, Maneges Qudroh ingin mengucapkan terima kasih kepada Mba Nafis yang bersedia menyempatkan hadir kembali ke majelis ini di tengah kepadatan jadwal liburannya. Disamping kesibukannya juga sebagai salah satu aktivis perempuan dalam berbagai komunitas.
Serta tak lupa dzikir-dzikir maiyah dilantunkan bersama agar lebih peka terhadap cahaya-cahaya temaram yang mungkin bersembunyi sepanjang perjalanan pengembaraan kita malam ini. Sumber cahaya akan ilmu itu satu, akan tetapi refleksi pantulan-pantulan cahaya yang kita tangkap akan sangat bergantung pada cermin diri kita sendiri. Jadi, bukan menjadi sebuah permasalahan ketika pulang akan membawa bekal makna yang berbeda-beda.
Sebenarnya tema sinau bareng kali ini adalah tentang generasi milineal, tentang apa yang menjadi pemikiran anak-anak muda saat ini. Dengan judul 'Apa Ada Angin di Berlin' yang secara sepihak sengaja dibuat oleh tim design ini, memang terinspirasi dari puisi Umbu Landu Paranggi berjudul 'Apa Ada Angin di Jakarta'.Â
Puisi yang penuh isyarat di tiap baitnya ini memuncak di kalimat terakhir. Kembali ke huma berhati. Namun kembalinya Mba Nafis kerutinan Maneges ke-102 ini akankah hanya terkesan seperti seruan pulanglah ke desa atau bagian dari perjalanan Mba Nafis kembali ke huma berhati baginya? Begitu pula dengan Mba Rizky, seorang perempuan yang ahli menggubah sebuah syair pun mengekspresikannya.
Sebelum masuk ke sesi utama, penampilan solo dari Mas Sealdie dengan lagu-lagu akustiknya menjadi hiburan bagai angin di musim semi.Setelah beberapa rutinan beberapa bulan kemarin mengalami musim 'kekeringan' akan adanya hiburan-hiburan seperti ini lagi di tengah-tengah acara sinau bareng.Â
Tapi itu bukan menjadi masalah yang berarti. Meskipun di luar sana sedang mengalami musim semi, setidaknya kami bersedia untuk mengalami musim gugur agar musim-musim semi itu dapat termaknai dengan sempurna yang menjadi bagian atas kesempurnaan-Nya.
"Aku kan tetap menunggu . . . "ketika para JM yang hadir bernyanyi bersama bagian reff lagu Seventeen ini, pada saat itu pula Mas Verdhian memanggil para perempuan idealis dengan keberaniannya menerobos berbagai batas ini. Disambut, kemeriahan para jomblowan yang kebetulan kali ini datang lebih ramai tidak seperti musim-musim kekeringan sebelumnya.Â
Motif-motif keistiqomah yang begitu kentara akibat dipicu oleh rupa-rupa bidadari setidaknya cukup unik. Namun kemeriahan berbalut kemesraan-lah yang memang tercipta diantara saling lempar kata-kata rayuan gombal. Baik secara lantang atau malu-malu.
Kesempatan pertama diberikan kepada Mba Nafis terlebih dahulu. Moderator menyanyakan perihal tentang bagaimana kisah perjalanan hingga akhirnya bisa sampai melanjutkan studinya ke Jerman.Â
Mba Nafis pun menceritakan tentang perjuangannya yang pasti penuh dengan hambatan ataupun rintangan. Salah satunya adalah ketika ia mesti kehilangan motor yang dipinjamnya dari salah satu koleganya atau pengalamannya yang ternyata butuh waktu mundur sedikit lebih jauh, yaitu pada saat erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 yang menimpa desa asalnya.