Lalu, kita beranjak menuju kecerdasan dunia akhirat. Simbah mengaitkan hal ini dengan ayat 'wala tansa nashibaka minad-dunya'. Dalam rangka engkau mencari Allah, jangan lupakan nasibmu selama di dunia. "Nasibmu di dunia itu maksudnya seperti apa yang sela ini kamu ketahui? Apa bedanya nasib dengan takdir? Kenapa minad-dunya bukan fii dunya?" tanya Simbah kepada jamaah untuk mengetuk cakrawala berfikir yang lebih luas. Mbah Nun juga berpesan agar kita memiliki presisi untuk menemukan jatidiri dalam perjalanan ke akhirat.
Pada akhirnya kita pada malam itu ditegaskan untuk bertanya kepada masing-masing pribadi. Bahwasanya selama ini, kita memilih fakultas atas nafsumu atau apa? Apakah dalam setiap metode pembelajaran dalam strata pendidikan memiliki muatan ilmu untuk lebih mengenali dirimu siapa?Â
Karena ini adalah sinau bareng, tak lupa beberapa kelompok dibentuk untuk workshop mengenai pokok pembahasan yang terkait tema. Jika kita perhatikan dengan seksama mengapa bentuk pembelajaran ini memakai cara sinau bareng, perhatikan bagaimana logika-logika permainan kata itu, mungkin tidak banyak ditemukan oleh orang lain.
Pak Imam Budi Santoso, seorang penyair yang sebelumnya mendapatkan kesempatan sebagai salah satu tokoh sastra yang mendapatkan ijazah maiyah. Pemberian ijazah ini sistem penilaiannya tidak seperti lembaga-lembaga pendidikan pada umumnya, namun berdasarkan kesetiaan, keistiqomahan atau ketekunan atas sesuatu yang dicintainya. Pak Imam Budi sendiri menunjukkan kelihaiannya dalam menggubah puisi. Yang pada malam itu diberi judul 'Ibu'. Dan terbukti, kata-kata yang magis dari seorang maestro mampu membuat para jamaah terbawa oleh ingatan akan ibunya.
Selain Pak Imam, ada sosok Pak Eko yang dulunya merupakan salah seorang karib Mbah Nun bersama Bapak Ebiet G. Ade. Beliau mengisahkan bagaimana perjuangan lika-liku perjalanan kehidupan yang dilalui. Dari cara membagi makanan sampai akhirnya menjadi seorang Artis yang begitu dikenal. Banyak hikmah yang dapat diambil dari kisah-kisah Pak Eko, yang dulunya merupakan seorang yang selalu membawakan gitarnya Pak Ebiet ini.
Jangan hanya menjadi wayang yang menjadi tontonan. Jangan menonton, tapi perhatikan! Puisi itu bukan apa-apa, tetapi momentum dibalik puisi yang lebih penting. Buku puisi bukan untuk dijual, tapi digunakan untuk lebih mengapresiasi para penyair yang menggugah momentum di balik makna akan kata-kata yang digubahnya.
Kita ini salah regenerasi jika dikaitkan dengan kisah Dewi Sukesi. Kenapa cita-citanya mesti sama dengan negara-negara yang lain? Sehingga pada akhirnya, kita mesti kehilangan otentisitas diri dan fadhillah. Akhirnya pula, mau tidak mau kita menjadi pengemis di bangsa kita sendiri. "Maiyah ingin mengajak anda untuk lebih mengenali diri kita." sanjang Mbah Nun.
Kasihan, 18 Juli 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H