Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Di Saat Mencinta (Muhabbah), Masihkah Menyimpan Harapan atau Ketakutan?

4 Juli 2019   16:07 Diperbarui: 4 Juli 2019   16:23 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita sekarang telah berada pada zaman dimana kebenaran ideologi tiap individu merupakan pondasi yang sangat perlu untuk direkonstruksi ulang. Kita cukupkan dosa-dosa peradaban ini jangan sampai terwariskan kepada generasi-generasi baru yang akan lahir. Tidak ada salahnya kan berjuang? Meskipun pada akhirnya kita hanya berjalan sendirian dan terasing dari kerumunan. Dan mungkin itu pun hanya sebatas prasangkaku atas ideologiku sendiri.

Meskipun kita tak mengetahui asal-muasal pengetahuan yang menjadi landasan kerangka berpikir. Sekiranya ada kata merujuk pada Al-Qur'an atau hadits, tapi sekali lagi, perlukah kita mengenal siapa para perawinya? atau setidaknya mengenal dan menelusuri penulis Kitab yang kita baca. Antara Ibnu Tamiyah atau Imam Al-Ghazali, pernahkah kita bertemu dengan ilmunya? Atau setidaknya mendengar nama mereka tersebut ketika ada ustadz yang meriwayatkan sebuah hadits? Lantas sejak kapan aliran-aliran dalam agama itu muncul?

Yang kalutnya, diantara aliran-aliran itu ada yang merasa paling benar sehingga dengan mudah mengejek, menyalahkan, bahkan menganggap sesat mereka yang tidak sealiran dengannya. Meskipun, diantara aliran-aliran tersebut ada pula yang memiliki sifat sebagai wadah yang dapat menampung segala perbadaan. 

Disebutkan ada 73 golongan dan hanya ada 1 yang menjadi golonganku Rasulullah? Hasrat kita pasti memilih untuk ikut kedalam satu yang baik, tapi apakah kita mengerti kriteria untuk menjadi golongannya? Pengetahuan dan akal disini memiliki proporsi yang penting, begitu pula dengan hati yang menjadi bahan pkok pembelajaran, akhlakul karimah. Namun, kita lupa menyingkap yang menjadi hijab, akhirnya penampilan setidaknya menjadi model perubahan utama dalam trending 'hijrah'. Apakah satu golongan tersebut mempunyai penampilan yang seragam?

Mumpung masih hidup, apa yang menjadi 1 atau 72 yang lain tak lebih hanya sekedar simbol. 73 itu pun sebenarnya hanyalah 2. Daripada merasa menjadi 1 yang dianggap benar (disaat tak ada satupun yang bisa mengetahui dan memberikan jaminan), bukankah alangkah lebih baik menjadi 72 selama masih hidup? Mudahnya, kamu akan merasa masih belum benar dan mendorong rasa untuk terus berbenah dan merasa salah. Daripada menjadi 1 dan pada akhirnya berakhir sok benar. Meskipun kamu hafal segala rujukan pengetahuanmu.

"Bacaan Al-Qur'an mereka lebih indah beserta hafalannya , ibadah mereka lebih banyak, puasa mereka pun lebih taat, tapi pada akhirnya agamanya pun tak sampai sebatas kerongkongan." Atau mungkin saya ingatkan kembali kepada Ibnu Muljam yang membunuh Sayyidina Ali, betapa mulia ibadahnya. Hingga akhirnya dirinya rasa benar Ibnu Muljam membutakan dirinya. Rasa benar itu akhirnya menjadi kendaraan nafsumu dan pengakuan kebenaran itu sendiri atas orang lain.

Dalam kitab bernama, Talbis Iblis, pada satu bab dijelaskan tentang beberapa poin yang menganggap ajaran tassawuf itu sesat. Mungkin alasan utama mereka menganggapnya sesat karena ajaran tersebut tidak ada pada zaman 3 generasi awal sehingga dianggap bid'ah. Disamping itu, mereka juga menggap jika tassawuf hanya menitiberatkan pada sifat muhabbah (cinta) tanpa dibarengi akan rasa takut atau harapan kepada Tuhan. Sementara itu, antara cinta, takut, ataupun harapan itu sendiri adakah yang bisa tumbuh sendiri?

Harapan itu muncul ketika kita takut akan sesuatu. Begitupun sebaliknya, ketakutan itu menyeruak ketika sesuatu terjadi tak seperti yang diharapkan. Bukankah kita sebenarnya hanya menginginkan keamanan? Harapan akan nikmat atas janji-janji kenikmatan? Atau takut akan murka atas hukuman-hukuman yang siap menjerat? Kalau toh memang seperti itu, apakah kita lulus menyembahnya jika sebenarnya kita hanya menginginkan keamanan diri sendiri?

Semua pasti merasakan apa itu cinta, entah dari orang tuanya, anak, atau orang-orang di sekitarnya. Pernahkah sesekali saja mencoba memaknai ketulusan akan cinta itu? Dimana tanpa imbalan pun mereka ikhlas melakukannya, meski lelah ataupun jika dilihat nampak seperti budak. Banyak pengorbanan. Bodoh! Tapi mereka yang tulus tidak pernah menganggap itu sebagai sebuah pengorbanan. Lelahnya tunai sudah meski hanya terbayar dengan senyuman orang yang dicintainya. Persepsi tentang tindakan yang dianggap bodoh itu pun tidak berlaku bagi mereka yang sedang mabuk cinta.

Mereka lupa akan jasadnya hingga hatinya yang menggerakkan segala lakunya. Kita yang masih banyak memikirkan materi atas kenikmatan untuk memuaskan jasad, pasti akan terjebak di antara rasa takut atau harap. Beda dengan mereka yang tulus menyembah Tuhannya, bahkan meski dicap meninggalkan ibadah. Disaat, mereka tidak paham jika segala ibadahnya sengaja disembunyikan karena takut dengan riya'.

Jadi, yang jadi pertanyaan adalah pernahkah kita benar-benar mencitai Tuhan? Apa cinta yang terungkap hanya demi kemanan diri kita sendiri? Hingga akhirnya tendensi-tendensi yang menghijabi hati pada akhirnya tidak nampak sama sekali. Karena kita takut akan luka-luka kalau kita menabrakkan diri kepada batas-batas kewajaran. Takut akan lelah jika kita terus mencari sesuatu yang dicinta tanpa tatap. Masihkah pantas mengharapkan cinta? Tapi tenang, semua pasti dapat bagian sesuai porsinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun