Seperti halnya kita sebagai manusia atau objek kehidupan pasti memiliki fadhillah (kelebihan) masing-masing yang nantinya kelebihan itu akan berguna untuk saling melengkapi. Dari fadhillah itu sendiri, semua memiliki nilai yang belum tentu manusia lain dapat menggantikannya. Orang yang tidak mengetahui mekanisme dan cara kerja KPU, maka mungkin saya akan bilang orang-orang ini menyesatkan diri sendiri.
Fadhillah atau kelebihan ini pun bisa secara kita objektif kita nilai karena ada beberapa subjek yang melakukan perkerjaan di bidang yang sama. Selain KPU, di sini ada beberapa lembaga survei yang secara langsung ikut mengamankan proses berjalannya pemilihan pemimpin di Indonesia. Jika KPU ini disebut sebagai fadhillah atau kelebihan karena memiliki keutamaan yang lebih resmi dibandingkan lembaga-lembaga lain. Tidak bisa seperti itu juga.
Fadhillah yang saya maksud disini adalah tentang ilmu. Tentu ilmu ini sendiri hanya dapat dicerna bagi orang-orang yang mau atau bersedia untuk berfikir dan mendayagunakan akalnya, tidak mengedepankan egonya. Ilmu sama sekali tidak terikat oleh menang atau kalah, lain hal dengan ego yang selalu memiliki tujuan menang atau kalah. Jadi sekali lagi, fadhillah disini sama sekali tidak terkait dengan lembaga manapun.
Fenomena seperti sekarang ini bagi saya pribadi setidaknya telah memperlihatkan seberapa berilmunya masyarakat Indonesia. Bagi masyarakat umum, orang disebut memiliki ilmu dilihat dari jenjang pendidikannya, atau seberapa panjang hiasan gelar yang terdapat di depan atau belakang namanya. Disaat justru semakin tinggi jenjang pendidikan formalnya, semakin menyempit pula jalan pemikirannya. Apakah kalian tidak lihat, berapa banyak sarjana di zaman sekarang? Di saat yang bersamaan, apakah moral negeri ini juga semakin membaik?
Sekarang anggap orang pintar itu sudah tidak laku lagi. Orang bersurban lebih dianggap lebih memiliki ilmu. Sebelum itu, mereka mungkin sudah mengetahui poin penting dari ilmu itu sendiri, yaitu menuntun kita menuju jalan kembali pulang (akhirat) dengan penuh keselamatan. Tapi celakanya, mereka tertipu oleh penampilan dan perkataan. Mana ada orang yang menuntun kita ke akhirat tapi pada kenyataannya mengajak kita untuk menundukkan penguasa. Terkecuali kalau penguasa itu jelas dholim terhadap rakyatnya.
Seburuk-buruk ulama ialah mereka yang mendatangi para umara (penguasa). Mendatangi ya, bukan diminta untuk menemani itu beda urusannya. Tapi disini, saya hanya akan menggarisbawahi sampai dengan ilmu dan kelebihannya. Dan apa sesungguhnya pengaruh panggung politik ini terhadap kehidupan para ulama yang menjadi wali Allah. Remeh! Sama sekali mereka tidak memperdulikan nasib para penguasa, kecuali rakyat-rakyat jelata yang menjadi korban pertarungan para penguasa.
Kalau memang ulama itu memiliki ilmu dan lebih mengutamakan jalan akhirat, manakah yang seharusnya dipilih antara membela penguasa atau menemani rakyat-rakyat yang tertindas? Dan membuatnya kembali merasa aman karena ada Allah yang selalu menjamin hidupnya. Merasa tertindas karena situasi ekonomi atau justru karena keadaan ekonomi yang seperti inilah yang justru menyelamatkan kita dari api neraka? Bernafsu untuk menjadi pemimpin yang berkuasa atau menjadi pemimpin karena diperjalankan oleh Allah? "Jangan bilang kita beriman jika kita belum mengalami nasib seperti kaum-kaum sebelumnya." Jadi seharusnya menang atau kalah adalah ujian bagi masing-masing yang masih ada dalam ruang circle menang kalah itu sendiri.
Lantas, apakah dengan melakukan gerakan yang sarat dengan muatan politik dan berteriak-teriak melantangkan takbir, akan mendekatkan diri kita kepada Allah? Atau hanya perasaan kita saja yang 'merasa didekatkan' dengan ikut aksi-aksi seperti itu? Syirik zaman sekarang tidak lagi secara terang-terangan menyekutukan Allah. Akan tetapi, ketika kamu berbuat jahat terhadap saudaramu dan disaat yang sama kamu merasa Allah memihakmu. Tidak jauh berbeda saat masa-masa Abu Jahal yang mengharuskan penindasan atas kebenaran yang dianutnya.
Setidaknya gunakanlah ilmu itu untuk merumuskan bersama, bukan malah menggunakan ilmu untuk menang dan berkuasa. Ilmu itu juga dipakai agar menang tak jumawa dan jika kalah akan legowo. Sudah saatnya, inilah satu-satunya potensi fadhillah yang bisa kita ambil untuk selalu bisa dijadikan pelajaran kepada generasi-generasi baru besok. Bukan hanya menjadi generasi penerus yang beraninya hanya sekedar main aman. Jadi, mana jalan yang kamu pilih kalau 'merasa didekatkan' itu datang dengan situasi yang ramai atau ketika kamu sendirian? Merasa didekatkan atau justru semakin jauh?
 Magelang, 21 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H