Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Angan yang Sakit Hati

10 Mei 2019   16:14 Diperbarui: 12 Mei 2019   17:12 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebingungan selalu saja menyapa terutama selepas waktu yang menuntunku untuk menuntaskan trawih sesegera mungkin. Gorengan dan kopi sisa berbuka masih berserakan di meja. Sayang mereka tak bisa berbicara meski jika dipaksa bisa-bisa aja. Namun teman setiaku segera menyapa seolah tak mau aku lama berdiam dengan kebingungan itu.

 "Kenapa di saat bulan yang katanya penuh berkah malah membicarakan sakit hati, sih?" tiba-tiba angan itu menyerukan pertanyaannya kepadaku. Lantang!

"Kenapa? Memang kamu sedang sakit hati?" jawabku kepada angan dengan gaya sok penuh ketenangan.

Lucu saja ketika dia tiba-tiba datang langsung menyematkan ungkapan 'sakit hati' kepada seseorang atau bahkan kelompok tertentu yang mungkin gelagatnya membuat kita bisa mengungkapkan bahwa mereka sedang dilanda sakit hati.

"Atas dasar apa kamu bisa menilai bahwa mereka sakit hati? Karena ucapannya atau perilakunya sehingga dengan congkak kamu bisa sematkan 'sakit hati' itu terhadapnya?" seolah aku ingin menuntaskan penasaranku karena tak biasanya ia seperti itu.

"Atau jangan-jangan diri kita sendiri merasa lebih baik sehingga bisa memberikan nilai kepada yang sedang tersakiti hatinya?" lanjutku.

"Lhoh, kenapa jadi malah aku?" kata Angan membela.

"Lalu bagaimana bisa kamu bisa berkata seperti itu? Jangan-jangan kamu sendiri yang sedang tersakiti hatinya oleh karena sesuatu, entah itu pembelaan atas dirimu, orang tuamu, gurumu, atau seseorang yang sedang kamu kasihi."

Situasi menjadi hening, anganpun enggan memberikan kata-kata lagi. Sembari memikirkan kata-kata yang kulontarkan kepadanya yang sepertinya kebingunganku seolah justru kulempar kepadanya. Benar saja permainan ini sungguh menarik untuk kita menangkan. Hingga terkadang membuat kita lupa terhadap diri kita sendiri.

" Kalau memang benar sakit hati ini hanyalah salah satu ungkapan pembelaanku, adakah cara lain yang lebih bijak?"

"Segala konflik yang timbul di dunia ini dasarnya hanya satu, karena mereka saling kehilangan rasa cinta. Mereka seolah lupa cara untuk mencintai meskipun dirinya tersakiti oleh suatu sebab."

"Masa iya aku biarkan saja seseorang menyakiti kekasihku?"

"Sek sek, kamu ini gimana to, Ngan. Kamu sendiri dong yang menentukan mau perselisihan atau kemesraan. Kecuali jika kamu sendiri masih terjebak dalam situasi menang-kalah atau baik-salah."

"Tentu aku tidak menginginkan perselisihan."

"Kalau begitu tunjukkan kepada mereka cara mencintai, jangan malah kau ajarkan kepada mereka cara untuk kembali menyakiti."

Perbincangan ini pun sejenak melupakan agenda makan setelah seharian mesti menahan makan. Mungkin makan sendiri tidak melulu berarti memasukkan sesuatu untuk mengisi kekosongan perut. Namun jiwa pun sekali-kali juga mesti dikasih makan meskipun caranya terlihat sepele bahkan absurd.

Bukankah hati kita juga mesti berpuasa terhadap segala sesuatu yang menyakitkan tapi mesti kita tahan? Meskipun kesempatan untuk berbuka dengan melampiaskan sangat tidak terbatas waktunya layaknya puasa umumnya yang kita kenal.

Tapi cukup wajar juga sakit hati itu langsung terekspresikan menjadi suatu bentuk pembelaan. Namun ekspresi ini juga tergantung kepada sebarapa dekat ia pernah mengalami rasa sakit itu sendiri. Kebanyakan dari kita dididik memang untuk merasa aman dan saling mengamankan. Walaupun terkadang ada beberapa yang lepas dari pengawasan.

Rasa aman mereka tabrak dengan gagahnya, sehingga mereka menemukan sebuah rasa disaat kematian itu sangatlah dekat. Atau mungkin bahkan cinta melebihi ego atas rasa aman itu sendiri. Bahkan kenikmatan asap dari daun tembakau hasil tingwe alias nglinting dhewe.

Coba aja kalau kita ada di zona aman, gengsi dong! Sepertinya zona yang dikira aman ternyata malah membuat kurungan tersendiri bagi kita. Hidup seperti dibatasi dengan sesuatu yang dikira mengamankan. Padahal sesekali, kita mesti perlu kebebasan. Salah satunya tentu agar tidak mudah sakit hati.

Tidak ada salahnya sekali-kali bertamasya tidak usah jauh-jauh menikmati semesta. Bertamasyalah kedalam diri sendiri, menjumpai berbagai angan untuk menemukan kesejatian makna. Asyik! Kalau suatu saat berjumpa dengan sakit hati, sampaikan salamku kepadanya.

"Hey, sini kamu!" Entah mengapa panggilan dari dinding itu menjadi terkesan sangat rewel setelah sebelumnya kubersihkan badannya yang menjamur. Karena dirinya lekas ingin segera terlihat molekkah? Atau karena memang candu, kepadaku?

Angan, 10 Mei 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun