Pendidikan sedang berada pada proses transformasi menuju modernitas. Dengan temuan metode-metode baru dalam penyampaian ilmu materinya.
Ruang-ruang formalitas memiliki ragam dan cara sendiri dalam mentransferkan ilmu. Dalam lingkup formal, antara pemerintah dan swasta juga memiliki cara pandang sendiri.
Namun, sebuah modernitas yang baru adalah mulai munculnya ruang underground di dalam ruang pembelajaran. Karena sebuah fenomena yang 'mungkin' ruang formal tidak mampu menjangkaunya.
Perbedaan cukup signifikan pun ditunjukkan oleh ruang baru tersebut, terutama dalam aspek budaya yang tercipta. Misalnya, tidak dibutuhkan dresscode atau seragam identitas yang mengharuskan dipakai saat proses pembelajaran.
Atau mungkin ruang ini pun tak terbatas pada satu tempat yang paten, akan tetapi ruang tersebut bisa tercipta dimana saja.
Yang menjadi pertanyaan adalah, dalam perbedaan tersebut, apakah pendidikan ada dalam lingkup budaya atau budaya merupakan ada di lingkup pendidikan?
Seperti acara Simbah yang terselenggara di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ini. Simbah yang mungkin telah terbiasa dengan ruang non-formal dan menemani rakyat biasa, kini mesti diundang dalam acara sekelas kementrian yang jelas pendengarnya adalah rakyat-rakyat yang sangat berpindidikan.
Hanya saja simbah menyeletuk di awal acara,"semakin rendah eselon, semakin lebar mulutnya." Disambut tawa seluruh hadirin pada ruangan itu.
Karena biasanya pada acara resmi seperti ini, tempat duduk yang paling depan biasanya diisi dengan para petinggi, semakin ke belakang maka level eselonnya semakin rendah.
Antara pendidikan dan kebudayaan itu sendiri, mana yang lebih utama? Apakah tidak setiap budaya bisa dikatan pendidikan? Atau tidak setiap pendidikan bisa dikatakan budaya?
Mana yang lebih tinggi maqom-nya? Tentu beberapa diantara kita pasti mempunyai versi yang berbeda dengan kebenaran versi dirinya. Cuma premis tersebut setidaknya membuka sedikit tentang mana yang mesti diutamakan antara budaya dan pendidikan.
Budaya dan pendidikan adalah sesuatu yang sangat sulit dipisahkan. Suatu proses mentransfer ilmu butuh pengaplikasian budaya yang sesuai agar tercipta situasi yang kondusif dan nyaman. Karena ilmu tersebut akan sampai jika kondisi si penerima ilmu siap dengan keranjang ilmu merk kebahagiaan yang dia bawa.
Bayangkan jika kebudayaan tidak berperan disitu, setiap merk keranjang, misalnya kesedihan, kecemasan, atau kemalasan berfikir akan menjadi penghalang ilmu ketika akan dimasukkan ke keranjang. Budaya memiliki peran penting dalam pendidikan untuk menciptakan suasana kebersamaan dalam proses pembelajaran.
Oleh sebab itu pula, hal-hal yang membuat kebersamaan ataupun kebahagiaan diaplikasikan dan dilakukan simbah-simbah kita dalam melakukan proses pembelajaran melalui kebudayaan, seperti wayang atau lagu. Tentu untuk memudahkan membuat keranjang sehingga mampu memuat ilmu yang disampaikan.
Ini yang sangat jarang sekali ruang pembelajaran formal lakukan sekarang. Semua murid ibarat diterjang oleh bulir-bulir ilmu setiap hari. Kalau diibaratkan seperti hujan, kita tidak akan bisa mampu menampung sebegitu banyak tetes air yang menyentuh tubuh hingga akhirnya tubuh kita sulit memaknai tetes-tetes tersebut.
Ilmu pun demikian, tidak akan seluruh ilmu yang mesti dilahap setiap hari tak kurang dari 8 jam, akan masuk ke dalam muatan keranjang yang disediakan seadanya.
Bahkan jika kita sudah tidak mengalami ruang lingkup formalitas pembelajaran (lulus), kalau kita perhatikan pasti apa yang kita kenang selama 10 tahun pembelajaran adalah proses-proses atau suasanya daripada materi/ ilmunya.
Seperti bagaimana percintaan masa remaja, rasanya bolos jam pelajaran, atau ketika terkena hukuman oleh Guru pasti akan lebih membekas dan terkenang.
Apakah hal tersebut yang mungkin dicari oleh Kemendikbud hingga menjadi tema 'Pengabdian dan Integritas'? Atau jangan-jangan ketika masalah tersebut masih belum terselesaikan, Kemendikbud berupaya untuk melangkah menerobos masa depan dengan pengabdian dan integritasnya? Lha siapa yang mengabdi?
Tujuan pengabdian kemana? Lantas integritas seperti apa yang diinginkan? Jangan menyebut 'kawulo' atau 'sahaya' sebagai seorang pengabdi, jika dalam setiap ilmu yang disampaikan sangat jarang sekali melibatkan Tuhan disitu. Disaat Dia adalah sumber dari segala ilmu, Sang Maha Mengetahui.
Jadi wajar saja jika pendidikan sangatlah semrawut seperti ini. Sangat banyak orang berpendidikan akan tetapi moral yang dihasilkan sangat tidak mencerminkan jenjang pendidikannya.
Ilmu yang didapat akan lari sangat kencang menjauh dari pemiliknya karena ilmu itu hanya dianggurkan tanpa pernah diamalkan.
Permasalahan umum yang terjadi sekarang adalah manusia sangat kurang peka. Entah itu pengaruh android atau memang dijadikan Tuhan sebagai orang yang malas berfikir.
Hingga akhirnya kurang tandang atau sigap. Terlalu sering membiarkan ilmu hanya lewat tanpa pernah setidaknya mendokumentasikan dalam sejarah peradaban dirinya.
Walau sekali-kali juga terbesit pemikiran. Toh, pada akhirnya kita hanya sebuah lukisan yang hanya nurut kepada Sang Pelukis. Manusia hanya tunduk pada ketentuan Si Penciptanya.
Kita sekali-kali mesti tahu diri, mengapa Tuhan membuat kita? "Wama kholaqtul jinna wal insa illa liya'budun".
Terkadang kita sering salah mengartikan tiap bulir kata tersebut. Kebanyakan selama ini Tuhan menciptakan jin dan manusia supaya untuk mengabdi kepada-Ku.
Seakan itu adalah suatu tujuan penciptaan. Disaat sama sekali Tuhan tidak membutuhkan pengabdian kita, karena Dia Maha Segalanya.
Yang ada dalam kalimat itu adalah bukan 'supaya' mengabdi melainkan 'illa'/ kecuali mengabdi kepada-Nya. Kenapa disebut jin dulu yang diciptakan baru manusia? Hanya ada 2 kali dalam kitab ketika manusia disebut dulu. Kenapa?
Kalau Nabi Ibrahim itu adalah Mulkan Nabiyya ( Nabi yang Berkuasa), dan Kanjeng Nabi ditawari hal yang sama oleh Tuhan, beliau malah lebih memilih untuk menjadi seorang 'Abdan Nabiyya (Nabi yang Mengabdi). Mengabdi kepada Tuhan dengan menemani ummatnya yang sebagian besar adalah rakyat jelata.
Sedangkan kita, raja bukan, pemimpin bukan, nabi juga bukan. Hingga yang sepantasnya kita lakukan jika kita tahu diri adalah menjadi seorang 'abdan 'abdiyya (hamba yang menngabdi). Mengabdi kepada Tuhan dengan terus menerus melakukan perintah Tuhan dan Kekasih-Nya sebagai seorang hamba.
Di akhir acara, Simbah membeberkan jika penyakit utama kita adalah kesempitan. Terutama kesempitan dalam berpikir. Kita sering salah mengartikan tauziyah seperti orang yang sedang mencari ilmu. padahal tauziyah adalah nasihat yang diberikan kepada orang yang mau meninggal.
Alangkah baiknya jika ilmu itu bukan dibungkus sebagai tauziyah, melainkan tawaashou atau saling menasihati atau mengingatkan. "wa tawaashou bil haqqi wa tawaashou bishshobr".
Saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran. Kalau sembahyang itu baik, tapi kalau niatnya buruk pasti akan tetap mempengaruhi makna sembahyang tersebut. Bahkan Tuhan sudah mengingatkan, "Celakalah orang-orang yang lalai dalam sholatnya!".
Tidak banyak pengharapan Simbah kepada Kemendikbud, atau mungkin reporter lupa untuk mencatatnya. Hanya pembacaan surat An-Nur 35 sangat mungkin menjelaskan harapan dan doa untuk Kemendikbud. Yaa! Masih ada cahaya di atas cahaya. Asal usul semuanya adalah cahaya.
Pendidikan dan budaya pun adalah transformasi cahaya yang diharapkan bisa menerangi kesempitan berfikir hingga melihat bahwa sebenarnya semesta begitu luas.
16 Januari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H