Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Essai | "Jangan Dekat-dekat", Proposal untuk Puan

4 Januari 2019   11:25 Diperbarui: 4 Januari 2019   11:33 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : pixabay.com

Panas dan gerah. Dahaga memekik kering kerongkongan. Menarik nafsu untuk meneriakkan apapun yang mengusiknya. Dia berhasil memancing anekdot kesunyian untuk menemukan lahan keriuhan. Ingin ber-mosing bersama dengan kumpulan para metalhead, membentuk wall of death sembari menunggu eksekusi diri dengan menabrakkan raga dengan apapun sekeras-kerasnya.

Itu hanya segelintir amarah. Gelombang nafsu akan ketidakpuasan terhadap apa yang menimpa dirinya. Pemerataan seharusnya bukan hanya sekedar masalah ekonomi. Tapi, kini sudah semestinya membaur ke masalah sosial, budaya, bahkan akhlak. Jika fokus tertuju pada output dari suatu permasalahan yang menjadi tolak ukur pemerataan merupakan suatu kesalahan pokok. 

Pusat perhatian mereka adalah hasil, bukan proses itu sendiri dalam mecapai apa yang tertuju. Bagaimana mengejawantahkan ratapan kelaparan ke dalam kebersamaan. Bukan demi sebuah nama yang membawa ke permukaan.

Bagaimana negara ini akan makmur, adil, sejahtera? Jika untuk mengenal dirinya sendiri saja mereka enggan. Bagaimana akan kau ubah lautan menjadi kolam susu? Jika engkau hanya berlomba-lomba berebut kursi di gedung yang megah. 

Bagaimana bisa engkau mengaku beriman, jika engkau tidak bisa bersabar. Bagaimana bisa engkau menyatakan cinta, tanpa pernah ada pengorbanan.

Jangan angankan orang lain menulis ini, tapi engkaulah yang sesungguhnya menulis. Kita sebenarnya sama, tapi engkaulah yang mendeklarasikan perbedaan. Kita sama-sama belum mengerti, tapi engkau merasa pintar dengan ilmu atau gelar yang engkau dapatkan. 

Kita selalu mencari, tapi selalu engkau batasi pencarianmu dengan akal yang telah dianugerahkan. Kita sejatinya selalu ikhlas, tapi kau buang ketulusanmu ke liang peradaban.

Engkau obral ucapanmu demi perhatian mereka. Tanpa pernah sekalipun engkau diam memperhatikan mereka. Engkau sebar brosur keberadaanmu untuk ke-eksistensi-an di depan mereka, tanpa pernah melihat ketiadaanmu dalam senyap. 

Engkau pacu tenagamu demi meraih kesuksesan, dengan mengesampingkan keselamatan, bahkan tanpa engkau ketahui apa itu kesuksesan. Engkau jauhi kesendirian yang hampir merenggutmu karena takut. Takut tidak menjadi apapun. Takut tidak kebagian peran sosial dalam struktur kesejahteraan.

Kita berada di negeri antah berantah. Ukuran perkembangan negara ini pun selalu berprioritas kepada ekonomi. Karena ekonomi merupakan tolak ukur kesejahteraan rakyat. Padahal tingkat kesejahteraan rakyat berbeda-beda. Dengan biaya 50k sehari sudah ada yang sangat bersyukur, ada yang merasa pas-pasan, ada juga yang merasa  kurang. 

Bandingkan dengan biaya 1000k atau lebih sehari, masih saja ada yang merasa kesejahteraannya belum terpenuhi. Jadi, apakah perlu negara ini terus-menerus menggenjot tonggak perekonomiannya yang sejatinya tidak tahu akan tercapai kapan. Semua hanya rencana, rencana, dan rencana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun