Hujan sore itu seakan menyambut kesederhanaan kegiatan yang akan kami lakukan. Sebuah transformasi kecil dari "sinau bareng" area Magelang yang kami lakukan rutinitas setiap malam minggu pertama di awal bulan. Gelas-gelas sudah tersusun rapi, begitupun piring-piring yang berisikan jajanan yang selalu disediakan untuk menemani perjalanan mesra malam itu.
Taddarus dari Mas Virdi sekitar pukul 21.00 menjadi tanda kalau acara Maneges Qudrah ke-94 telah dimulai. Setelah itu sebuah performace dari Grup Musik Sopongiro yang menampilkan beberapa lagu karyanya. Dilanjutkan dengan beberapa shalawat bersama yang dipimpin kembali oleh Mas Virdi. Shalawat yang selalu menjadi ciri khas Maiyah karena selalu mengingatkan kembali akan cinta segitiga hamba, Kanjeng Nabi, dan Gusti Allah.
Tema sinau pada malam hari itu adalah mengulas tentang buku 'Kids Zaman Now' yang ditulis oleh Muhammad Nursamad Kamba. Pak Amron menjadi narator untuk menyampaikan beberapa poin-poin penting yang dibahas dalam buku tersebut. Beliau menyampaikan jika yang utama adalah menemukan kembali islam di zaman now ini. Membuka wawasan dari manapun dan dari apapun disaat kita terjerembab dalam dunia teknologi. Â Â Â Â Â Â Â
Hujan kembali datang malam itu menambah romantisme acara kian sendu. Seakan memberi khasanah tersendiri beriringan dengan ilmu-ilmu yang tersampaikan. Di tengah suasana tersebut, mendadak listrik padam,tapi keadaan tersebut tak lantas membuat kami menghentikan acara. Justru alam seakan memiliki caranya sendiri untuk turut ikut menambah kemesraan diantara kami. Acara dilanjutkan dengan duduk melingkar, dibalut dengan cahaya senter handphone seadanya.
Tanpa pengeras suara, Pak Amron lanjut menjelaskan tentang bagaimana mengenal Allah sampai proses makrifat. Dimana di setiap jenjang untuk mencapai makrifat, kita tidak boleh mengesampingkan syariat, tarekat dan hakikatnya. Karena di setiap jenjang tersebut, tiap ibadah yang dilakukan akan memiliki efek yang luar biasa. Akan tetapi di zaman now, manusia seakan diberi kesempatan untuk menemukan Tuhan secara langsung. Mereka terbebas dari segala bentuk administrasi golongan keagamaan. Kalau menurut Cak Nun, " mereka terbang ke angkasa, melompat ke cakrawala, mengendarai frekuensi, untuk menemukan Maha Kekasih dengan cinta dan kemesraannya."
Karena di zaman sekarang banyak sekali fenomena-fenomena agama, salah satunya 'orang mendadak saleh' yang membuat situasi semakin gaduh. Dengan golongan 'keagamaan' yang mereka bawa atas nama membela nilai-nilai Ketuhanan. Kearifan dan kebijaksanaan seakan hilang hingga menimbulkan argumen jika nilai Ketuhanan telah menjadi kendaraan disaat mereka memberhalakan institusi agamanya.
Pak Nur Samba pernah mengatakan,"selama hubunganmu dengan Tuhan masih tetap transaksional maka cara beragamamu tak akan beranjak dewasa, dan selama kau tetap kekanak-kanakan beragama kau akan tetap menjadi asuhan pemimpin yang bisa menjualmu kapan saja."
Muhammad Nursamad Kamba merupakan ahli tassawuf yang pernah menjadi duta besar untuk Indonesia di Mesir. Beliau juga menempuh pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo. Dan yang membawa Cak Nun dan Kiai Kanjeng pentas di Mesir adalah beliau. Yang kebetulan memiliki cara pandang yang sama dengan Cak Nun tentang nilai-nilai keagamaan.
Di sela-sela keheningan malam karena padamnya listrik, pertunjukan Kung Fu Shaolin dari Tegalrejo memberikan cahayanya tersendiri. Dengan jurus macam dan jurus badaknya yang mesti diperagakan diatas terpal yang basah karena habis diguyur oleh hujan. Seni Kung Fu ini seperti mengajarkan bagaimana seni bela diri juga membutuhkan tekad dan kerja keras untuk mencapai sesuatu. Tak kurang sekitar belasan remaja dari Tegalrejo menghibur kita malam itu.
Lstrik masih enggan menerangi setelah hiburan tersebut, dan sinau bareng pun dilanjutkan kembali.
*****