Pada Pemilu 2014 nanti, akan kita jumpai amat banyak caleg muda yang menjajal peluangnya meraih satu kursi di Senayan, atau di Dewan-Dewan Perwakilan provinsi maupun kota/kabupaten. Bahkan tak sedikit yang sebenarnya masih tergolong pemilu “pemula”—seumur hidup baru sekali memberikan suara di pemilihan umum, yakni pada 2009 yang lalu. Barangkali akan banyak yang bertanya, yakinkah mereka mau berkiprah menjadi wakil rakyat di sana? Atau yakinkah kita, para pemilih, menaruh harapan pada mereka?
Barangkali bisa juga kita balik bertanya, kenapa tidak? Sebab, ada banyak alasan mengapa munculnya tokoh-tokoh muda ini dapat kita pandang dari perspektif optimistik. Alasan yang paling mendasar, semangat muda di negeri mana pun selalu bisa menjadi motor perubahan. Mereka masih punya semangat, idealisme, cita-cita, dan yang penting, belum rusak lantaran kontaminasi dari sistem yang sudah korup. Dalam hal ini, kesediaan sebagian tokoh muda untuk mencoba berkiprah sebagai wakil rakyat, patut kita apresiasi sebagai sebentuk kepedulian dan barangkali juga rasa “gemas” ingin berbuat sesuatu melihat kondisi saat ini yang butuh perbaikan di sana-sini.
Belakangan banyak pihak mengeluhkan, antusiasme publik dalam menyongsong pemilu hari ke hari kian merosot. Lihat saja ke belakang; sejak Pemilu 1999, ke Pemilu 2004, lalu 2009, angka golput selalu meningkat. Dari pilkada ke pilkada di berbagai daerah di antara tahun-tahun politik itu pun angka golput tak pernah rendah. Dan sekian banyak pihak memprediksi, 2014 ini angka golput itu akan lebih tinggi lagi. Publik pun kian apatis dan skeptis.
Memang, dengan meluasnya corong-corong informasi lantaran teknologi komunikasi yang maju pesat, orang banyak kini punya akses untuk mengintip tiap hari kelakuan-kelakuan para aktor dan kejadian-kejadian yang ditayangkan di panggung politik. Bahkan sudah banyak aktor politik yang juga memiliki akun jejaring sosial, sehingga bisa menyapa “langsung” publik bukan hanya tiap hari, bahkan tiap jam. Bagaimana mungkin publik tak lagi aware dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di antara para elite ini? Meski kondisi ini membuka lebar-lebar kecenderungan mengejar pencitraan, tapi di sisi lain juga memungkinkan pengawasan mata publik di setiap sudut panggung perpolitikan.
Dengan kata lain, publik kita saat ini, termasuk kalangan mudanya, sudah barang tentu lebih melek politik. Tapi antusiasme sebagai penonton ini, agaknya berbanding terbalik dengan antusiasme untuk turut andil, yakni dengan memberikan suara dalam pemilu. Meski suara seorang warga terhitung kecil, tapi dalam sebuah sistem demokrasi yang dibangun dengan hajatan berkala berupa pemilihan umum, suara itu signifikan, penting.
Yang agaknya meningkat grafiknya dari waktu ke waktu, justru malah rasa apatis dan skeptis. Seolah sikap masa bodoh dan sarkas kini sudah menjadi default yang “mesti” kita tunjukkan setiap kali ada obrolan menyoal kepemimpinan dan perwakilan rakyat di negeri ini. Di tengah kejenuhan semacam ini, munculnya caleg-caleg muda seharusnya dapat menumbuhkan kembali harapan kita. Minimal, mereka menunjukkan bahwa di antara generasi yang terkenal apatis itu pun masih ada orang-orang yang memiliki kepedulian dan ingin turut andil.
Kaum muda kini banyak yang berjaya di berbagai sektor kehidupan; wirausaha muda, intelektual muda, aktivis muda, ilmuwan muda, atau tokoh-tokoh muda lainnya kini banyak yang berprestasi. Kenapa tidak dicoba, di antara orang-orang yang sudah mengukir prestasi di usia muda ini, sebagiannya kita “susupkan” ke lembaga-lembaga tinggi negara? Untuk sementara ini, barangkali lembaga legislatif-lah yang paling mungkin. Mengapa? Karena kitalah, para pemilih, yang menentukan siapa yang akan mengisi ruang-ruang sidang di gedung perwakilan rakyat sana. Tinggal yang jadi soal, maukah kita, dengan mengumpulkan satu demi satu suara di bilik TPS nanti, memberikan daya dorong untuk mendudukkan harapan-harapan baru ini di kursi wakil kita?
Panggung perpolitikan dan dunia kepemerintahan negeri ini mungkin memang sudah begini jenuh, dan mungkin juga “membosankan”, lantaran cuma dipenuhi kelambanan dalam merespons kebutuhan masyarakat, kekakuan birokrasi, dan perilaku korup di sana-sini. Tapi masih terlalu dini untuk kita patah arang, seolah tak mungkin lagi menaruh harapan bahwa perubahan itu masih dimungkinkan. Dan sekali kita menginisiasi perubahan, kita sudah selangkah lebih maju; tinggal mengawalnya agar dari sekadar perubahan menjadi perbaikan.
Link:
http://myzone.okezone.com/content/read/2014/03/11/12578/caleg-muda-dan-optimisme-hari-depan-bangsa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H