[caption id="attachment_302291" align="alignnone" width="300" caption="Pemungutan suara. (sumber foto: media.viva.co.id)"][/caption]
Lusa, 9 April, pemilu legislatif bakal dilaksanakan. Dalam tulisan ini saya tak ingin sembunyi-sembunyi, saya ingin mengajak pembaca untuk memilih. Bukan untuk memilih si ini atau si itu, tapi untuk memilih. Itu saja. Asal jangan “memilih” untuk tidak memilih. Karena itu absurd.
Nah, banyak kawan atau kenalan saya yang bilang, “Entah ya, bisa jadi kali ini pun golput (lagi).” Dan alasan mereka kebanyakan, “Habis... nggak ada partai atau caleg yang mumpuni, yang bisa dipercaya.” Benarkah tak ada? Atau jangan-jangan kita yang tak sabar-sabar cari tahu. Beberapa waktu belakangan banyak juga kok yang merilis daftar “caleg bersih”, atau “caleg pilihan”, atau “caleg layak pilih”.
Sebagai contoh, di antara nama-nama dalam daftar-daftar itu ada:
1.Taufik Basari; advokat yang dikenal sebagai “pejuang HAM” karena kiprahnya membela orang-orang kecil yang “ditindas” hukum.
2.Ulung Rusman; aktivis pembela hak-hak asasi warga minoritas, juga veteran aktivis ’98.
3.Nur Amalia; praktisi hukum, aktivis, juga “pejuang HAM” yang pernah membela hak-hak ekonomi masyarakat adat di Gunung Halimun.
4.Maria S. Wardhanie; aktivis lingkungan hidup yang juga pendiri salah satu organisasi pelestari lingkungan di Jakarta.
5.Ricky Subagja; atlet bulutangkis yang pernah meraih medali emas di Olimpiade Atlanta 1996 dan salah satu pebulutangkis “legendaris” nasional.
6.Nil Maizar; mantan pemain tim nasional sepak bola Indonesia dan pernah menjadi pelatih timnas menggantikan Alfred Riedl.
7.. . .
Dan lain-lain. Dan lain-lain. Seperti saya katakan tadi, saya tak ingin sembunyi-sembunyi. Sekarang pun saya katakan contoh-contoh di atas memang bias—bias pilihan personal saya pribadi. Saya tak ingin memungkiri bahwa semuanya berasal dari satu partai, satu-satunya partai baru yang baru kali ini ikut pemilu. Tapi dengan mengemukakan contoh-contoh itu, saya tak sedang mengajak pembaca mengikuti pilihan saya. Apa yang ingin saya share hanyalah pengalaman pribadi saya dalam membuat pertimbangan untuk memilih partai ini (atau itu). Juga pertimbangan saya, untuk memutuskan sedapat mungkin tidak golput tahun ini.
Dari contoh-contoh yang saya paparkan di atas, memang benar nama-nama itu “belum pengalaman” di dunia politik. Namun sejauh yang saya tahu, sejauh informasi tentang mereka yang sudah saya cari tahu, mereka bukanlah orang-orang yang “nol pengalaman” di bidangnya. Bahkan bukan orang yang “nol prestasi”. Inilah alasan pertama saya untuk “memberi kesempatan” pada partai baru yang mengusung mereka.
Alasan berikutnya, partai baru “belum punya dosa”; begitu juga “caleg baru”. Tapi yang penting memang bukan sekadar “baru”; mereka juga harus berprestasi. Mereka “baru” cuma sebagai caleg, sebagai aktivis atau ahli hukum atau atlet mereka bukanlah “orang baru”. Tak heran jika kombinasi antara “baru” dan “prestasi” ini mengantarkan sebagian dari mereka menjadi “caleg bersih” atau “caleg pilihan” versi beberapa laporan.
Meski toh tak semua caleg itu ada di dapil saya, tentu saja, tapi setidaknya setelah tahu bahwa di dapil-dapil lain partai ini punya caleg seperti mereka, cukup menambah kemantapan pilihan saya.
Nah, setelah menimbang-nimbang track record orang-orang yang dijagokan oleh partai itulah, saya akhirnya memutuskan pilihan saya. Saya percaya pilihan saya bukan satu-satunya yang baik. Di luar masih ada—harusnya—partai atau caleg-caleg yang setidak-tidaknya sama baiknya. Tapi akhirnya kita kan tidak bisa mencoblos dua kali, dua caleg, atau dua partai.
Karena itulah, saya katakan sekali lagi: partai paling baru dengan caleg-caleg “bersih” itulah yang jadi pilihan saya. Pilihan Anda, silakan putuskan sendiri. Yang penting, minimal lakukan apa yang saya lakukan. Buat pertimbangan akal sehat sebelum menentukan pilihan, dan sebisa mungkin jangan menyia-nyiakan hak suara kita.
Berikut beberapa rujukan tentang daftar caleg bersih. Tapi tentu saja, informasi dari rujukan-rujukan ini hanyalah bagian kecil. Masih banyak sumber informasi lain yang bisa kita gunakan untuk cari tahu tentang partai dan caleg potensial.
·“Bukan Caleg dalam Karung,” Majalah Tempo edisi 24-30 Maret 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H