Mohon tunggu...
mohammad tauchid
mohammad tauchid Mohon Tunggu... -

Pensiunan kementerian kehutanan sekarang bekerja sebagai advisor pt. hutan asri nusantara group chemone indonesia kantor chase plaza lantai 7 sudirman jkt

Selanjutnya

Tutup

Money

Apakah Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) pada Industri Pengolahan Hasil Hutan Kayu Masih di Perlukan?

12 Oktober 2015   15:03 Diperbarui: 12 Oktober 2015   18:47 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 5, 6 , dan 7 Oktober 2015 pada Harian Kompas berturut-turut dimuat berita yang berkaitan dengan SVLK dengan judul " RI Berpotensi Jadi Sumber Kayu Ilegal", "SVLK Tidak Wajib Bagi Industri Hilir", kemudian ada keluhan pembaca lewat surat kepada redaksi dengan judul "Verivikasi Legalitas Kayu", semua berita tersebut intinya mempermasalahkan SVLK, sehingga Pemerintah merencanakan adanya revisi Peraturan Menteri Perdagangan nomor 66/M-DAG/PER/8/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri perdagangan nomor 97/M-DAG/PER/12/2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan yang intinya mempermudah ekspor dari pengusaha Kecil dan menegah dalam melakukan ekspor mebel dan kerajinan tanpa harus memiliki sertifikas SVLK hanya diperlukan Deklarasi Ekspor (DE).

Di lain pihak beberapa stakeholder mempermasalahkan apabila pelemahan SVLK dengan rencana revisi Peraturan Menteri Perdagangan, akan menyebabkan RI berpotensi jadi sumber kayu ilegal. Sebelum adanya SVLK, sebetulnya peraturan yang berkaitan dengan Penatausahaan Hasil Hutan sudah ada sejak adanya pemanfaatan hutan produksi yaitu adanya HPH (Hak Pengusahaan Hutan) maupun HTI (Hutan Tanaman Industri) sekitar tahun 70 an.

Dari beberapa kali diterbitkan Peraturan yang paling lama bertahan adalah Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.55/Menhut-II/2006 tentang Penatausahaan Hasil Hutan di Hutan Negara, yang merupakan kegiatan yang meliputi penatausahaan tentang perencanaan produksi, pemanenan atau penebangan, penandaan, pengukuran dan pengujian, pengangkutan/peredaran dan penimbunan, pengolahan dan pelaporan. Setiap batang kayu yang keluar dari hutan negara baik HPH maupun HTI wajib disertai atau bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan, untuk yang di HPH disebut dokumen SKSKB (Surat Keterangan Sahnya Kayu Bulat), sedangkan di HTI dokumennya disebut FAKB (Faktur Angkutan Kayu Bulat). Dokumen inilah yang menunjukkan legalitas atau keabsahan kayu bulat yang diangkut, tentunya semua prosedur sampai dengan terbitnya dokumen harus memenuhi ketentuan.

Waktu berjalan, dengan adanya keinginan menyederhanakan birokrasi dan mengurangi biaya ekonomi tinggi, selanjutnya P. 55/Menhut-II/2006 disempurnakan menjadi Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.41/Mengut-II/2014 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Kayu yang berasal dari Hutan Negara, Peraturan Menteri Kehutanan P.42/Menhut-II/2014 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Kayu yang berasal dari Hutan Tanaman Industri, dan Peraturan Menteri Kehutanan nomor 91/Menhut-II/2014 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Bukan Kayu yang berasal dari Hutan Negara.

Perubahan tersebut memudahkan pemegang izin mengimplementasikan pelaksanaan di lapangan, karena masing masing pemegang izin pemanfaatan mememiliki aturan sendiri-sendiri, sehingga tidak rancu dalam pelaksanaannya. Dari semua aturan tersebut, intinya adalah mengatur pergerakan kayu dari hulu (HPH/HTI) sampai dengan hilir (Industri primer/lanjutan), sehingga diharapkan kayu yang diambil dari hulu sampai ke hilir adalah kayu yang benar-benar legal/sah dan dokumen yang menyertai dapat dilakukan lacak balak, apalagi aturan tersebut didukung dengan aplikasi SIPUHH (Sistem Informasi Penatausahaan Hasil hutan) Online dimana setiap batang kayu yang akan diangkut diberi label barcode, dalam label barcode tersebut terdapat banyak informasi yang akan diperoleh, misalnya kayu tersebut berasal dari HPH mana, petak nomor berapa, jenis kayunya apa, ukuran panjang dan diameter, siapa petugas dan pengawasnya, ada dikoordinat berapa, dll artinya apabila ada kecurigaan kayu yang masuk ke industri adalah kayu ilegal maka bisa ditelusuri sampai ke hulunya, dengan metode lacak balak tersebut.

SVLK dibangun atas kemauan politik pemerintah, karena pada saat itu Indonesia dituding oleh negara-negara barat merupakan negara yang illegal loggingnya nomor 1 di dunia, malah ada pejabat negara kita pada saat itu mengatakan bahwa 90 persen kayu yang beredar di Indonesia illegal, sehingga produk jadi yang sumber bahan bakunya berasal dari kayu, tidak dapat di pasarkan di luar negeri terutama negara-negara Eropa. Dari sinilah kemudian diinisiasi pertemuan dengan negara Eropa dengan bentuk kerjasama dan dibahas serta di buat draf selama bertahun-tahun, akhirnya terbentuklah apa yang disebut SVLK.

Menurut hemat saya yang harus diwajibkan adalah bahan baku kayu yang berasal dari hulu (HPH/HTI), sebagaimana keinginan Presiden dan para pengusaha UKM yang bergerak di bidang produk barang jadi yang bahan bakunya berasal dari kayu, karena apabila dihulu prosedur penatausahaannya sudah sesuai ketentuan maka bahan baku yang diolah oleh industri hilir dijamin legal/sah.

Bagaimana dengan bahan baku kayu yang berasal dari hutan hak/kayu rakyat ?

Pemerintah dalan hal ini Kementerian Kehutanan (saat ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) pada tahun 2012 telah membuat regulasi kemudahan bagi masyarakat yang menanam tanaman yang berada di lahan pekarangan/kebunnya yang memiliki alas titel yang jelas dengan mempermudah peredarannya sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.30/Menhut-II/2012 tentang Penatusahaan Hasil Hutan yang Berasal Dari hutan Hak, dimana masyarakat yang akan menjual kayu yang ditanam di pekarang/kebunnya misal jenis sengon atau jabon, dokumen angkutannya berupa nota yang ditandatangani oleh pemilik kayu yang bersangkutan, contoh nota angkutan ada di lampiran Peraturan Menteri tersebut.

Dari apa yang telah dipaparkan di atas, saya yakin bahwa apabila regulasi diikuti dan dipatuhi semua pihak di Indonesia tidak ada illegal logging, sehingga kewajiban penerapan SLVK hanya pada produksi hasil hutan yang di hulu (HPH/HTI), untuk di industri hilir tidak diperlukan lagi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun