"Saya hanya mengajak Pak Prabowo, Pak Gibran, Pak Mahfud, Pak Ganjar, saya, Mas Anies, dan siapa pun sama-sama tobat ekologis" --Abdul Muhaimin Iskandar dalam Debat Cawapres Minggu, 21 Januari 2024 (CNN Indonesia, 2024).
Ketika pertama kali mendengar istilah yang tidak familiar tersebut, saya membayangkan sebuah upaya manusia untuk menyesali perbuatannya serta bertanggung jawab dalam kerusakan ekologis yang telah kita perbuat selama menjalani kehidupan di muka bumi ini. Sebenarnya, tobat ekologis adalah frasa yang tidak asing bagi umat Katolik. Istilah Pertaubatan Ekologis termuat dalam Ensiklik (surat amanat Paus) "Laudato si" yang membicarakan tentang ibu bumi sebagai rumah bersama. Dalam ensiklik ini salah satunya, Paus menyesalkan terjadinya kerusakan lingkungan serta pemanasan global dan ajakan untuk mengambil aksi menjaga bumi kita bersama. Lebih lanjut lagi mengutip peryataan Rohaniawan Katolik, Romo Benny Susetyo, pertaubatan ekologis secara umum adalah cara bagaimana manusia menjaga ekosistem alam semesta. Tata kelola alam harus memperhatikan nilai nilai keseimbangan dimana keberpihakan nilai kemanusiaan bermanfaat untuk manusia bukan untuk manfaatnya pemodal (Tirto id, 2024).
Konsep menjaga ekosistem alam serta nilai keseimbangannya untuk menghindari bencana ekologis sebenarnya sejalan dengan konsep One Health yang selama ini menjadi falsafah kami dalam mempelajari ilmu kedokteran hewan. One Health atau Satu Kesehatan adalah suatu pendekatan yang mengakui bahwa kesehatan manusia berkaitan erat dengan kesehatan hewan dan lingkungan. Pendekatan ini bertujuan untuk mempersatukan upaya yang berkelanjutan dalam menyeimbangkan hubungan antara kesehatan hewan baik hewan peliharaan, satwa liar, tumbuhaan dan lingkungan sekitar demi terwujudnya kesehatan manusia yang ideal. Hewan merupakan salah satu komponen penting bagi kehidupan manusia. Hewan menjadi sumber pangan, pemenuhan kebutuhan sosial, bagian dari pendidikan dan penelitian dan sebagainya. Pembangunan ugal ugalan, pembukaaan lahan pertanian yang masif dan tidak bertanggung jawab, penggundulan hutan untuk kepentingan industri berdampak pada hilangnya habitat asli satwa sehingga mendekatkan interaksi antara hewan (terutama satwa liar) dan manusia. Interaksi hewan dan manusia meningkatkan kesempatan untuk terjadinya penularan penyakit terutama zoonosis atau penyakit yang ditularkan hewan ke manusia.
Kita ambil contoh pandemi Covid 19 yang meluluhlantakkan satu dunia empat tahun lalu. Hasil konsensus peneliti dan para ahli serta laporan WHO menyimpulkan bahwa penularan Covid-19 kemungkinan besar berasal dari hewan ke manusia. Bahan genetik virus SARS-CoV-2 bercampur dengan DNA anjing rakun didapatkan dari sampel yang berasal dari pasar hewan di Wuhan, China tempat dimana kasus pertama Covid-19 ditemukan pada 2020 (Kompas Id, 2023). Dampak selanjutnya sudah kita lewati bersama sama , perekonomian dunia luluh lantak, mobilisasi manusia berhenti pada tempat tinggal masing masing, interaksi sosial dibatasi, dan semua aspek kehidupan di muka bumi seperti disetel ulang. Kejadian pandemi merupakan peringatan bahwa bumi kita berhak untuk dipulihkan.
Manusia memang makhluk yang dianugerahi akal dan pikiran yang lebih daripada makhluk lain sehingga menjadi "pemimpin" di muka bumi ini. Sayangnya akal dan pikiran itu kadang tidak diikuti dengan etika dan tanggungjawab mengasihi pada makhluk hidup lain dan lingkungan sekitar. Kehilangan hutan alam dari 2015-2019 mencapai total 2,81 juta ha (Auriga, 2020). Lebih lanjut lagi menurut data dari WWF bahwa terjadi rata rata penurunan sebesar 68% pada lebih dari 20.000 populasi mamalia, burung, amfibi, reptil dan ikan semenjak tahun 1970. Dampak kekacauan ini begitu besar pada penurunan keanekaragaman hayati, berubahnya tatanan dalam sistem rantai makanan, migrasi satwa liar ke permukiman penduduk, konflik satwa liar dan manusia serta penyebaran penyakit dari hewan ke manusia.Â
Konsep kolaborasi yang ditawarkan oleh pendekatan One Health dapat membantu kita untuk melebarkan perspektif bagaimana kesejahteraan serta kesehatan manusia  dapat diwujudkan tanpa mengabaikan kesejahteraan makhluk lain serta dengan tetap mengasihi bumi dimana kita tinggal. Pendekatan One Health menitikberatkan pada keseimbangan. Mustahil untuk mewujudkan kesehatan manusia yang ideal jika kita mengabaikan peran mahkluk lain yang berdampingan hidup dengan kita serta menghancurkan lingkungan apalagi demi kepentingan segelintir pihak. Kolaborasi ini harus melibatkan berbagai disiplin ilmu antara kesehatan manusia, kesehatan hewan dan ahli lingkungan. Kerjasama antar disiplin ilmu memang mau tidak mau harus terjalin sebagai bentuk pertanggung jawaban kita bersama atas kerusakan ekologis yang sudah terjadi selama beberapa dekade terkakhir ini. Dan jelas, konsep kolaborasi tidak dapat diwujudkan melalui kebijakan pemerintahan yang mengabaikan ilmu pengetahuan serta tidak mempunyai keinginan politis untuk mencegah terjadinya bencana ekologis yang tidak kita inginkan.
Tobat ekologis memberikan pesan universal untuk kita semua, bahwa bumi dan apa yang dikandungnya bukan hanya sekadar milik manusia, namun makhluk lain didalamnya. Tobat ekologis merupakan suatu pengingat kepada kita semua, bahwa kerusakan ekologis dan pengabaian pada kesejahteraan makhluk hidup lain mengalir kepada satu hulu kepastian; kerusakan pada peradaban manusia itu sendiri.
Kita bisa memulai adil semenjak dalam pikiran dan kita bisa mencoba adil semenjak dari lingkungan.
Referensi:
https://auriga.or.id/resource/reference/ulik_data_kondisi_habitat_satwa_liar_di_indonesia_2022.pdf