Bisa ditebak bagaimana reaksi keluargaku- setelah sempat  hampir depresi dan akhirnya mengaku dibantu pskiaterku- terutama ayahku yang murka luar biasa sampai bersumpah demi nama Tuhannya ingin melenyapkan lelaki itu. Aku hanya bisa diam, malu dengan diriku, terlebih kecewa dengan calon pilihan Ayah yang langsung bubar seribu langkah setelah mendengar kabar itu. Mungkin kalau lelaki itu tidak bersedia bertanggung jawab dan  menikahiku maka nyawanya sudah dikejar kejar dendam seorang Ayah. Aku tidak bersedia pun tidak menolak,aku lagi lagi hanya diam.
Kopi yang aku pesan hampir terlihat sepahnya ketika aku melihat lelaki itu memasuki pintu kayu jati yang dulu aku usulkan dan pesankan langsung dari Jepara. Aku menunduk, pura pura tidak mengenal apalagi melihat serta tetap menjamah makananku.
"Aku tau kamu ada disini" ujar Lelaki itu
Sesaat aku hanya diam, sengaja tidak mau mendengar.
"Aku tahu kopi favoritmu juga tidak pernah kau ganti"
Pernyataan ini membuatku penasaran
"Bagaimana kau tahu?"
"Karena aku juga selalu datang kesini"
Meskipun aku terkejut dengan jawabannya namun pada kenyataanya aku tidak sanggup lagi untuk mempercayainya
Lelaki itu melanjutkan "Aku selalu datang kesini setiap hari mencari kedamaian, sehabis jam  kantor usai dan penatku sedang dipuncak puncaknya, aku selalu melihatmu duduk disini, dengan tempat dan pesanan yang sama seperti dulu, dan aku selalu takut untuk mendatangimu, lalu ketika kau pulang aku akan mengikuti dari belakang sejauh mungkin, hanya memastikan kau baik baik saja selama perjalanan kembali ke tempat yang kutahu tak pernah kau sudi bilang rumah"
"Apa yang kau inginkan?" kataku tajam, tanpa babibu