Bapakku suka mendongeng buat adikku yang berumur 3,5 tahun. Setiap sebelum tidur, adik selalu minta bapak berdongeng, dengan cerita yang itu-itu juga. Saya hafal dongeng itu luar kepala. Ini dia.
Mirpi adalah seekor burung kecil. Ia tinggal di sebuah pohon bersama ibunya. Mirpi sedang belajar terbang. Ia mengepak-ngepakkan sayap di sekiling dahan pohon. Mak Mirpi menasehatinya, “Mirpi, kamu baru belajar terbang, jadi jangan terbang jauh-jauh ya”
Tapi Mirpi suka lupa. Karena terlalu asyik belajar terbang, ia lupa pesan ibunya. Ia terbang agak jauh dan makin jauh dari pohon tempat tinggalnya. Terlalu jauh, sampai ia lupa jalan pulang.
Mirpi menangis ketika sadar ia berada di daerah yang asing. Dahan-dahan dan hembusan angin menerpa dedaunan di tempat asing membuatnya takut.
“Ibu……mana ibu….,” tangis Mirpi.
Jauh di atas, seekor elang perkasa sedang terbang mengitari kawasan hutan. Ia lapar dan sedang mencari makan. Elang melihat Mirpi yang sedang kebingungan. Seketika ia menukik turun, menghampiri Mirpi. Ketakutan Mirpi mendapati Elang tiba-tiba saja berada di dekatnya, dengan kepakan sayapnya yang dahsyat.
“Wah, ada burung kecil, nih. Cocok buat makan siang,” seru Elang dengan suaranya yang parau.
“Jangan, Elang. Aku ini burung kecil yang lemah. Jangan kau mangsa aku,” gemetar Mirpi menatap Elang.
“Enak saja. Elang boleh makan apa saja yang ia sukai. Dagingmu kelihatannya lezat,” gelegar Elang. Mirpi makin ketakutan.
Pada saat itu, di atas kedua burung itu, lewatlah burung merpati pos. Merpati melihat keduanya; ia tahu ada yang tak beres.
Merpati pos menukik dan hinggap di dahan tak jauh dari Elang dan Mirpi.
“Kayaknya ada masalah di sini,” sapa Merpati.
“Tak ada masalah di sini. Burung Elang hendak makan siang, apa masalahmu?” Elang menatap Merpati dengan pandangan pongah.
“Ohoho, tunggu dulu! Kamu, Elang, dengan badan sebesar itu, hendak memangsa burung kecil yang tak berdaya itu? Benar-benar burung besar yang jahat!” kata Merpati tanpa rasa takut.
“Tak usah melarang aku. Kalau ikut campur, kau juga akan jadi menu makan siangku,” hardik Elang.
“Eits, tunggu dulu,” Merpati mengibaskan sayapnya. “Apa hebatnya burung besar dan hebat yang makan sesamanya yang lemah? Tahu tidak, meski kau berbadan besar, kau tak punya banyak pengalaman,” kata Merpati.
“Maksud lo?” tanya Elang.
“Kamu kan cuma terbang di sekitar sini, mencari mangsa dan menakut-nakuti burung lain. Lihat aku, aku Cuma burung kecil, tapi aku punya tugas khusu, mengantar surat. Aku terbang jauh ke segala tempat. Aku sudah pernah melintasi puluhan gunung, terbang di atas laut, dan sudah melihat dunia lebih banyak,” kata Merpati.
“Maksud lo?” ulang Elang.
“Maksudku, aku sudah melihat burung yang lebih besar dan hebat daripada kamu,” kata Merpati.
“Nggak mungkin. Mana ada yang lebih besar daripada aku,” sela Elang.
‘Ada, coba kau mendongak ke atas. Itu yang sedang terbang dengan suara menderu, jauh tinggi berwarna keperakan. Ia terbang seribu kali lebih cepat seribu kali lebih jauh daripada kamu,”
Elang mendongak. Jauh di atas sana, sebuah pesawat jet sedang melintas. Mata Elang membundar, baru percaya kalau ada burung yang lebih besar dan lebih cepat. Elang tak bisa menyombong lagi.
“Sudah percaya, kan?” goda Merpati.
“Ya, deh….ya deh…” ujar Elang.
“Nah,” kata Merpati, “sekarang kau musti menjadi burung besar yang baik, yang menolong dan melindungi makhluk lemah. Si Mirpi ini sedang tersesat dan perlu balik ke rumahnya,”
Elang menatap Mirpi yang masih gemetaran. Ia mendekati burung kecil itu.
“Okay, burung kecil. Kuantar kau pulang. Naiklah ke punggungku dan berpeganglah erat-erat. Kuajak kau terbang secepat kilat,” kata Elang.
Ragu Mirpi terbang ke punggung Elang, dan menancapkan cakarnya di punggung itu untuk berpegangan.
“Are you ready?” tanya Elang.
“Siap, Elang!”
“Aku pergi dulu ya, Merpati. Terimakasih atas nasehatmu,” kata Elang.
Merpati tersenyum senang melihat nasehatnya dijalankan dengan baik oleh Elang.
Elang terbang melesat membelah langit. Mirpi senang sekaligus ketakutan. Elang membawanya terbang tinggi mengitari hutan. Mirpi bisa melihat benda-benda menjadi kecil di bawah sana. Sungguh ini pengalaman luar biasa. Ia yakin emaknya tak pernah terbang setinggi itu.
Setelah terbang beberapa putaran akhirnya Elang mengantar Mirpi ke pohon tempat tinggalnya. Emak Mirpi luar biasa ngeri didatangi Elang. Ia terkejut mendapati Mirpi kecil meringkuk di punggung Elang.
“Mirpi, are you alright?” Mak Mirpi kuatir.
“I am fine, bune! Elang sekarang jadi sahabatku. Ia mengantar aku pulang. Aku tadi tersesat” jawab Mirpi.
Sejak saat itu Elang jadi sahabat kental Mirpi. Ia sering datang ke pohon tempat tinggal Mirpi dan mengajak Mirpi terbang di atas hutan. Elang senang ia bisa jadi burung besar yang baik hati.
Mirpi dan Elang sama-sama berhutang budi pada Merpati. Sayang mereka tak pernah jumpa lagi dengan Merpati. Merpati pos pasti sedang sibuk dengan surat-surat yang harus ia antar ke tempat-tempat yang jauh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H