Akhir pekan 9-10 April 2011, aku diajak ayah dan teman-teman gym berwisata ke gunung Bromo. Ini kunjunganku yang kedua ke Bromo, sebelumnya 5 tahun lalu. Kami tiba sekitar pukul 9 di malam hari setelah menempuh 5 jam perjalanan dari Surabaya. Bapakku bilang biasanya Surabaya-Bromo hanya perlu paling lama 3 jam. Tapi di akhir pekan kemarin, selain kemacetan di sekitar Lumpur Lapindo, kemacetan di sepanjang jalan karena jalanan rusak, hujan dan padatnya kendaraan membuat mobil yang kami tumpangi harus sering berhenti. Untung yang pegang setir adalah Tante Nita, teman bapak yang adalah seorang pembalap. Tante Nita lincah menyelinapkan mobil di antara kemacetan.
Aku (jaket ungu) dan temanku Regina dengan latar belakang ladang miring yang rusak (Foto Eddy Roesdiono)
Kami menginap di Hotel Yoschi, yang dikelola pasangan Yoyok, warga Bromo dan, Uschi, istri Yoyok, yang warga Jerman. Suhu di luar menunjukkan angka 12 derajat Celcius. Jadi, minum teh hangat cocok benar. Sehabis makan malam, aku dan temanku Regina dan Renaldi, main game di netbook-ku. Bapak dan teman-temannya main kartu dan ngobrol sama bule-bule tamu Hotel Yoschi.
[caption id="attachment_100462" align="aligncenter" width="526" caption="Sebelumnya ladang ini hijau segar dengan tanah subur (Foto : Tatyana Almira)"]
Aku bangun jam enam pagi dan ikut bapakku hiking di sekeliling hotel. Baru aku sadari keadaan lingkungan Bromo sangat menyedihkan. Keindahan panorama kawasan Bromo menjadi terganggu karena tebalnya lapisan pasir yang dilontarkan dari kawah gunung Bromo pada saat meletus Desember 2010. Pasir yang jumlahnya berjuta-juta kubik itu menyebar kemana-mana, antara lain terbawa arus air hujan. Akibatnya, ladang penduduk rusak, tanaman gagal panen, dan warga tidak bisa menanam ulang karena kondisi tanah yang tidak bagus. Itu berlangsung sampai saat ini. Kata bapakku, semburan pasir itu menyebar di radius 15 kilometer. Itulah sebabnya pemandangan hijau kawasan Bromo menjadi kelabu. Untung lapisan pasir di atas genteng rumah warga sudah dibersihkan. Kalau tidak, yang tersisa pastilah pemandangan serba kelabu.
[caption id="attachment_100463" align="aligncenter" width="614" caption="Anak-anak Bromo bermain di antara ladang rusak (Foto : Tatyana Almira)"]
Aku bertemu seorang ibu yang sedang menghangatkan bayi usia 4 bulan di bawah sinar matahari yang redup. Kata ibu itu banyak warga Bromo harus pergi merantau ke luar daerah, luar pulau atau luar negeri untuk mencari nafkah, termasuk suaminya. Kubis, kentang, tomat, stroberi tidak bisa ditumbuhkan lagi, entah sampai kapan. Padahal bertani sayuran adalah pekerjaan semula sebagian besar warga Bromo yang mayoritas beragama Hindu itu.
[caption id="attachment_100464" align="aligncenter" width="621" caption="Bromo, meletus Desember 2010. Ini foto keadaan saat ini. (Foto : Tatyana Almira)"]
Pariwisata di Bromo juga sangat terganggu. Namun, masih untung ada turis datang. Mereka umumnya justru ingin menyaksikan kondisi kawasan Bromo setelah letusan. Aku berharap mudah-mudahan lingkungan di kawasan Bromo akan pulih seperti sedia kala, sehingga orang Bromo bisa bekerja lagi dan pariwisata Bromo bisa meriah lagi.
[caption id="attachment_100465" align="aligncenter" width="514" caption="Saya dan teman-teman bapakku di puncak Cemara Lawang, Bromo. (foto : Eddy Roesdiono)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H