Kompasianer pernah gak sih mengalami rasa nggak percaya diri sama tubuh sendiri? Saat melihat kaca merasa kalau badan kamu kegemukan atau kekurusan, merasa tidak tampan atau tidak cantik, merasa kalau warna kulit kalian tidak sesuai dengan apa yang kalian inginkan, dan lain lain.
Tercatat dari hasil kajian oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, rasa percaya diri terhadap anak anak masih tergolong rendah di angka 56%, dan angka tersebut didominasi oleh anak perempuan.
Ada lagi survey yang dilakukan oleh sebuah brand Shampo Dove, Survey tersebut diikuti oleh perempuan  berusia 10 sampai 60 tahun pada 13 negara dengan total koresponden mencapai 10.500 orang. Survey tersebut menunjukkan hasil yang mengejutkan karena lebih dari setengah populasi remaja perempuan di dunia tidak memiliki kepercayaan diri yang tinggi.
Lalu bagaimana sih standar seseorang bisa dikatakan cantik atau tampan dan bagaimana caranya agar kita bisa menerima bagaimana bentuk tubuh kita?
Kita tahu kalau setiap wilayah mungkin mempunyai standar kecantikan masing masing, namun apa yang terjadi jika standar tersebut justru menuntut kita untuk mengikuti apa yang diinginkan oleh society hingga ada yang memutuskan untuk melakukan operasi plastik hanya untuk memuaskan apa yang dilihat orang lain?
Selain itu fakta bahwa banyak produk skincare yang menjamur di masyarakat dengan embel embel mencerahkan dan memutihkan kulit itu menunjukkan kalau kulit putih adalah batas yang ingin dicapai oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia agar dapat disebut Good looking.
Semisal jika ada sebuah agensi yang menuntut agar setiap calon pekerja yang ingin mendaftar harus berpenampilan menarik atau contoh lain saat sebuah circle pertemanan yang mewajibkan kita harus good looking dan memiliki tubuh yang bagus untuk bisa masuk ke circle tersebut.
Lalu apakah kita harus menuruti apa kata society pada keputusan yang kita ambil terhadap tubuh kita atau kita menerima tubuh kita apa adanya?
Ada sebuah gerakan yang didalamnya terdapat pemahaman untuk mendukung dan menghargai mencintai tubuh kita apa adanya. Gerakan atau pemikiran itu disebut sebagai Body Positivity Movement. Gerakan ini sendiri berfokus pada penerimaan atas semua tubuh, diantaranya ukuran, bentuk, warna kulit, kemampuan fisik, bahkan gender.
Body positivity movement sendiri dimulai pada akhir tahun 1960-an. Sebelum dikenal dengan istilah sekarang, Body positivity lebih dikenal dengan Fat Right Movement. Bermula dari kisah seorang laki laki yang kesal terhadap bagaimana cara Society memperlakukan istrinya yang gemuk, hingga ia mengumpulkan orang orang yang sependapat dengan dia dan membentuk organisasi yang sekarang dikenal dengan NAAFA (National Association to Advance Fat Acceptence).