Ketidakseimbangan pada gender (gender inequality) ini lebih mengacu pada ketidakseimbangan akses sumber-sumber yang langka dalam masyarakat. Sumber-sumber yang penting itu meliputi barang-barang material, jasa yang diberikan orang lain, prestise, perawatan medis, otonomi pribadi, kesempatan untuk memperoleh Pendidikan dan pelatihan, serta kebebasan dari paksaan atau siksa fisik (Chafetz, 1991).
Teori neo-klasik menerangkan bahwa pembagian kerja seksual dengan menekankan perbedaan seksual dalam berbagai variabel yang mempengaruhi produktivitas pekerja. Perbedaan-perbedaan itu meliputi pendidikan, keterampilan, lamanya jam kerja, tanggung jawab rumah tangga, serta kekuatan fisik.Â
Semua ini didasari atas asumsi bahwa di dalam persaingan antar pekerja, pekerja memperoleh upah sebesar marginal product yang dihasilkannya. Konsekuensi logis dari hal ini adalah anggota rumahtangga laki-laki memperoleh investasi human capital yang lebih tinggi daripada perempuan. Sebaliknya, perempuan memperoleh pendapatan produktivitas yang lebih rendah karena mereka memiliki human capital yang lebih rendah dari laki-laki.
Kesetaraan gender ini mengacu pada pemenuhan hak-hak, kesempata dan perlakuan yang adil oleh laki-laki dan perempuan dari semua kelompok umur di segala tahapan kehidupan dan pekerjaan. Ada beberapa cara membangun kesetaraan gender dalam dunia kerja, seperti:
- Mematuhi Hak-Hak Ketenagakerjaan. Cuti adalah salah satu hak seorang pegawai. Bagi perempuan dan laki-laki mereka punya orang tua di keluarganya, maka selain cuti melahirkan untuk perempuan. Memberi cuti pasca melahirkan untuk para suami juga diperlukan untuk mendukung peran mereka sebagai ayah. Tidak lupa hak cuti saat menstruasi maupun keguguran juga penting untuk dipenuhi bagi pegawai perempuan.
- Melibatkan Perempuan dalam Pengambilan Keputusan. Perempuan sering kali dikesampingkan pada saat berhubungan dengan memimpin. Sementara perempuan memiliki kapasitas yang sama baik dalam memimpin maupun mengambil keputuasan. Dengan menempatkan perempuan dalam serikat pekerja, hak-hak dan kewajiban perempuan bisa dijaga dan tidak dilupakan.
- Memberi Gaji yang Sama Antara Pekerja Perempuan dan Laki-laki. Meski bisa dibilang laki-lakilah yang dituntut sebagai tulang punggung keluarga, bukan berarti perempuan perlu mendapatkan gaji yang setara dengan apa yang diberikan pada laki-laki. Nyatanya, banyak juga perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga, sehingga kesetaraan dalam memberi upah ini tidak boleh diabaikan.
- Memberikan Kesempatan Jenjang Karir yang Sama. Tak jarang perempuan tidak diberi jenjang karir yang sama karena alasan mengasuh anak, sehingga mereka kesulitan untuk naik jadi staf hingga posisi teratas. Pembahasan ini hanya akan menyia-nyiakan potensi yang dimiliki pegawai perempuan tersebut. Jelas banyak profesi Tingkat atas yang membutuhkan posisi seorang perempuan untuk memimpinnya.
- Melindungi Perempuan dari Pelecehan di Tempat Kerja. Sebagai pihak yang sering kali dianggap lemah, perempuan sering menjadi sasaran atau objek pelecehan seksual baik secara fisik maupun mental di lingkungan kerja. Tentu pelecehan jenis apapun tidak layak untuk dibiarkan begitu saja. Pelecehan juga rentan terjadi antara atasan dan pegawai yang lebih rendah, sehingga korban semakin merasa tidak berdaya dan takut untuk melapor. Jika sebuah perusahaan abai terhadap kasus pelecehan khususnya untuk perempuan, ini bisa jadi indikasi adanya ketidaksetaraan gender di sana.
Baik untuk perempuan maupun laki-laki, mereka ingin bisa bekerja dengan aman dan nyaman tanpa mengalami tindakan tersebut. Kesetaraan gender dalam dunia kerja berarti mendukung pemberdayaan potensi-potensi yang dimiliki perempuan. Setiap perusahaan dan individu perlu memiliki keberanian untuk menyuarakan dan mewujudkan hal tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H