Malam ini sudah lewat jam 2.00 dini hari waktu Amsterdam. Ada perasaan sendu saat menantikan matahari terbit esok hari. Sore tadi saat kami tiba di Amsterdam dari Frankfurt dengan perjalanan panjang kurang lebih lima jam. Semua rombongan tur tampak tetap semangat dan ceria. Walaupun program mengunjungi mesjid di Cologne harus dihilangkan agar jam kerja bus tidak melebihi driving time sesuai peraturan Uni Eropa.
Ada satu individu yang menjadi semangat saya dalam perjalanan kali ini. Dia yang berusia 23 tahun dan senantiasa senyum. Rambutnya yang hitam panjang terurai, senyumnya yang manis dan ikhlas membuat saya merasa harus belajar banyak dari anak muda ini.
Namanya Kahiyang, putri semata wayang Jokowi Calon Presiden yang menurut ramalan saya akan menjadi Presiden periode 2014 - 2019. Panggilan sehari-harinya Mbak Ayang. Tingginya lebih tinggi dari saya. Ternyata tingginya mengambil dari Jokowi. Pertama kali bertemu, nampak Ayang tidak banyak bicara. Malu-malu dan hingga saat ini pun, pemalu. Namun setelah beberapa hari, Ayang mulai banyak bicara dengan saya.
Like a father - like a daughter. Saat anggota grup lainnya heboh shopping. Ayang foto-foto dengan sepupunya yang wajahnya lebih mirip Ibu Anna Jokowi. Saat tiba di Amsterdam, hotel tidak menyediakan porter. Ayang mengangkut sendiri kopernya. Ayang juga sangat disipilin dengan waktu. Saat lainnya masih duduk-duduk santai Ayang sudah keluar siap-siap dengan kameranya. Baju yang dipakainya sederhana. Juga sepatunya sederhana. Ayang yang ditemani oleh Budenya yang memakai jilbab dan istri dari seorang dokter terkenal dari Surabaya.
Grup tur yang diikuti oleh Ayang ini semua muslim dan menu makan minta 100% halal.Setiap pagi wake up call jam 05.00 pagi. Anggota rombongan adalah kelompok pengajian teman-teman dekat Ibu Anna Jokowi. Setiap negara yang kami datangi wajib mendatangi mesjid dahulu untuk sholat. Baru kemudian tur.
Setelah tur selama 7 malam 8 hari ini bersama putrinya Jokowi dan orang-orang terdekat Ibu Anna Jokowi barulah saya yakin bahwa Jokowi memang layak menjadi Presiden. Ayang tidak punya credit card, hobinya foto-foto, tidak banyak shopping. Saat di Paris, hanya membeli satu tas untuk Mamanya merek LongChamp yang harganya tidak mahal. Saya tanya, "Enggak beli untuk Bapak?" Jawabannya, "Bapak itu tidak suka pakai apa-apa." Baju dan sepatu yang dipakainya sederhana saja. Keluarganya sangat alim dan taat.
Tidak sombong dan sugguh menyenangkan. Bahkan tadi sore saya sempat linglung mencari arah dimana bus parkir. Mbak Ayang yang menunjukkan arah yang benar, sambil tetap senyum. Saat anggota grup lainnya ada yang kurang puas. Justru Ayang selalu mengatakan, "Aku enggak apa-apa kok Mbak Tati. Santai aja Mbak jangan dipikirkan". Karena tadi malam di hotel 4* di Frankfurt tidak ada triple room. Sehingga Bude, sepupunya dan Ayang tidur dalam satu bed sempit-sempitan. Saya tawarkan untuk mengangkut extra bed, tetapi ditolak. Ayang tidak ingin merepotkan orang lain.
Usianya 23 tahun, tapi sugguh sikapnya bijak, sabar dan pemalu. Mbak Ayang tidak suka ikan. Jadi kalau mengundang makan, jangan disediakan ikan. Besok berpisah. Saya pulang ke Yunani dan Mbak Ayang ke Solo. Memori satu cable car duduk bersama, jalan bersama, bahkan membantu memfoto saya saat saya ingin difoto, akan terus melekat dan saya banyak belajar darinya. Sederhana dan tidak sombong. Semoga suatu saat saya bisa bertemu kembali dengannya dan Mbak Ayang yang saya yakin tidak akan berubah
walau pun sudah jadi anak Presiden.
Amsterdam, 24 April 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H