Utomo selalu duduk di kursi goyang yang menghadap jendela di kamarnya. Hal itu dilakukannya pada pagi dan sore ketika sinar matahari tidak lagi menyilaukan mata. Pandangannya lurus ke arah jalan yang terlihat jelas dari jendela, seolah-olah tidak ingin melewatkan apa pun yang melintas di sana.
Sudah dua minggu terakhirUtomo terbatuk-batuk. Ia mengelus dadanya yang sesak sambil menghirup udara dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Di saat yang bersamaan, Kinasih memasuki kamar dan menghampiri lelaki yang telah menemaninya selama 35 tahun itu.
"Pak, wedang jahenya dihabiskan, mumpung masih hangat," ujar wanita berwajah teduh itu sambil mengelus-elus punggung suaminya.
"Iya, Bu, makasih," jawabnya. Ia tersenyum untuk menutupi kegelisahannya.
"Bapak belum boleh terlalu capek. Sebaiknya Bapak berbaring aja sambil mendengarkan pengajian atau menonton ceramah ustaz kesayangan." Kinasih memberi saran sambil menatap suaminya penuh kasih.
Sebulan yang lalu, Utomo dilarikan ke rumah sakit karena tiba-tiba pingsan di kamarnya. Ia demam tinggi, tetapi tubuhnya justru menggigil kedinginan. Dadanya sesak seolah-olah ditindih oleh batu besar. Namun, dokter tidak menemukan penyakit apa pun yang diderita Utomo.
Sebagai seorang pengusaha batik terbesar di sebuah kota di Jawa Tengah, ia bisa mengontrol bisnis tanpa harus terjun langsung karena sudah dipercayakan kepada asisten. Ia selalu berperilaku hidup sehat dengan menjaga pola makan dan berolahraga secara teratur. Namun, psikiater mengatakan bahwa Utomo sakit karena kondisi psikisnya.
Utomo mengingat dengan jelas kedatangan kedua anaknya tiga tahun yang lalu. Tanpa disengaja, ia mendengar kedua anaknya bertengkar tentang hari tuanya yang akan dihabiskan di rumah siapa. Pertengkaran itu berujung ketika akhirnya mereka sepakat untuk menggaji orang yang akan mengurus ia dan istrinya di hari tua nanti.
Ia berhasil mendidik kedua anaknya menjadi orang sukses dan terpandang. Namun, ia tidak pernah mengajarkan dan memberi contoh bagaimana seharusnya berbakti pada orang tua.
"Anak-anak dan cucu-cucu kita pasti akan datang, Pak. Bersabarlah!"
"Entahlah, Bu," jawabnya masygul. Mata tua itu menyiratkan keputusasaan.