Seorang wanita paruh baya tinggal di sebuah gubuk sederhana yang terletak di pinggir sungai. Dindingnya terbuat dari bambu yang mulai lapuk dan alasnya berupa tembok hitam yang sudah mengkilat.
Hujan deras turun sejak pagi, menyurutkan langkahnya untuk pergi. Beberapa hari ini suaminya sakit, sehingga tak sanggup mengambil pasir yang ada di sungai.
Dia menuju ke dapur, membuka periuk tempat menyimpan beras. Tak ada sebutirpun yang tersisa di sana. Perasaanya gundah, mau makan apa hari ini batinnya dalam hati.Â
Hujan mulai reda, dia keluar menuju rumah tetangga. Siapa tahu ada yang berbaik hati meminjamkan beras ataupun uang kepadanya.
Dua rumah sudah dia datangi, tetapi tak ada yang mau berbagi. Mungkin mereka sudah bosan memberinya pinjaman yang terkadang belum bisa dibayar sampai hari ini.
Dia menuju rumah terakhir, tetangganya memberi beberapa liter beras dan sedikit uang. Ambil saja dan tak perlu dibayar katanya, rasa terima kasih terucap dari bibirnya.Â
Bertahun-tahun hidup dalam kekurangan, semua dijalani dengan kesabaran. Mau mengeluh pun percuma, tak kan bisa mengubah keadaan.
Dalam setiap sujud dia selalu berdoa kepada Yang Mahakuasa, semoga hidupnya bisa berubah. Berharap anaknya bisa sukses kelak, supaya membantunya bangkit dari keterpurukan.
#Puisi solo ke- 36
Cibadak, 7 Desember 2022
Tati Ajeng Saidah untuk Kompasiana